Keadilan menurut Ibn Taimiyah
Pernyataan di atas adalah benar pernyataan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam salah satu kitabnya, (VI/322).
Pertanyaannya adalah, apa makna sebenarnya dari pernyataan tersebut? Benarkah bagi Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah—dengan ungkapan tersebut—sistem yang tidak islami atau sistem Islam itu bukanlah suatu hal urgen dan yang urgen adalah keadilan? Bisakah ungkapan di atas dijadikan bagi kebolehan ber- dengan sistem yang tidak islami dan berkoalisi dengan partai sekular?
Sebagaimana diketahui, taraf pemikiran umat Islam saat ini begitu merosot tajam hingga hampir mencapai titik nadir. Dampaknya, bermunculanlah pemikiran dan gagasan aneh yang tidak pernah dikenal oleh generasi Islam sebelumnya. Misalnya, kebolehan melakukan (bergabung) dengan pemerintahan yang tidak islami, koalisi partai Islam dengan partai sekular dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan aneh dan menyimpang ini juga lahir akibat diabaikannya (prinsip-prinsip syariah) demi apa yang mereka sebut dengan ‘kemaslahatan’. Kemaslahatan telah mereka posisikan seolah-olah lebih tinggi di atas hukum syariah. Akibatnya, suatu perkara yang jelas-jelas haram bisa mengalami metamorfosis menjadi halal jika dalam perkara yang haram tersebut terdapat kemaslahatan. Begitu pula sebaliknya.
Ironisnya, para pengusung gagasan-gagasan di atas juga mengetengahkan sejumlah argumentasi untuk membenarkan pendapat mereka. Mengenai dengan pemerintahan yang tidak islami misalnya, mereka beralasan dengan kisah Nabi Yusuf as. Menurut mereka, Nabi Yusuf as. telah ber- dengan pemerintahan yang tidak islami yang ada di Mesir saat itu. Mereka juga beralasan dengan kisah Raja Najasyi yang memerintah dengan hukum-hukum kufur, padahal pada saat kematiannya terbukti telah memeluk agama Islam. Menurut mereka, dua kisah ini membuktikan bahwa dengan pemerintahan yang tidak islami bukanlah perkara terlarang. Dalam prespektif itu pulalah ungkapan yang dikutip oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah di atas dikemukakan. Dengan ungkapan di atas seakan-akan Ibnu Taimiyah melegalkan dalam pemerintahan yang tidak islami dan berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Lengkapnya, pernyataan Ibn Taimiyah di atas adalah sebagai berikut:
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى: اللهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلاَ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak kezaliman itu sangatlah buruk, sedangkan dampak keadilan itu adalah baik. Oleh karena itu, dituturkan, “Allah menolong negara yang adil walaupun negara itu kafir dan tidak akan menolong negara zalim, walaupun negara itu Mukmin.”1
Untuk memahami maksud ungkapan di atas secara tepat, paling tidak ada 3 hal yang mesti kita perhatikan. : bentuk ungkapan dan konteksnya. Dalam ungkapan di atas, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah menggunakan kata(diriwayatkan). Dalam ilmu ushulul-hadits, kata tersebut disebut dengan yang lazim digunakan untuk meriwayatkan khabar (lemah), tanpa sanad dari Nabi saw.2 Ibn Taimiyah adalah ulama hadis. Beliau juga tentu menerapkan kaidah tersebut. Karena itu, bisa dipastikan,kata menunjukkan bahwa beliau tidak yakin terhadap (diterima)-nya ’sanad’ ungkapan tersebut. Ini saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menolak pendapat sebagian orang yang menjadikan ungkapan Ibn Taimiyah di atas sebagi hujjah atas kebolehan ber- dengan pemerintahan yang tidak islami, atau berkoalisi dengan partai-partai sekular.
: makna ungkapan. Seandainya dari sisi ungkapan tersebut (padahal faktanya tidak), kita tetap harus mengkomparasikan ungkapan tersebut dengan pandangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tentang adil dan keadilan. Dalam kitab Ibn Taimiyyah menjelaskan adil dan keadilan sebagai berikut:3
Keadilan itu adalah keadilan yang bersifat , yakni istiqamah. Adil adalah semua hal yang ditunjukkan oleh Islam—Al-Kitab dan as-Sunnah—baik dalam (hukum) muamalah yang berkaitan dengan sanksi ataupun hukum-hukum lain. Sesungguhnya adil pada semua hal tersebut adalah apa yang ada di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Sesungguhnya secara umum apa yang dilarang oleh al-Kitab dan as-Sunnah adalah kembali pada realisasi adil dan larangan untuk berlaku zalim, baik secara detil maupun secara global, misalnya makan harta yang bathil…
Inilah pendapat Ibn Taimiyah tentang adil dan keadilan. Pendapat ini kurang lebih sama dengan pendapat para fukaha dan para mufassir tentang keadilan.4 Imam al-Qurthubi, misalnya, menuturkan riwayat dari Ibn Athiyah yang menegaskan, bahwa adil adalah setiap hal yang difardhukan baik akidah maupun syariah.5
Perlu dicatat, bahwa makna keadilan itu tidak berbeda dengan makna keadilan secara bahasa. Al-Hafidz al-Jurjani menegaskan, bahwa keadilan itu secara bahasa adalah istiqamah, dan dalam syariah berarti istiqamah di jalan yang haq serta jauh dari hal-hal yang dilarang.6 Jadi makna konprehensif dari kata secara tidak keluar dari lingkup terhadap apa yang ditunjuk oleh al-Kitab dan as-Sunnah; baik dalam akidah maupun ibadah, akhlak dan muamalah serta yang lain.7
Dengan demikian, kita tidak ragu sama sekali untuk menyatakan bahwa maksud ungkapan Ibn Taimiyah di atas bukan untuk melegalisasi pemerintahan yang tidak islami atau dengan pemerintahan yang tidak islami atau berkoalisi dengan partai-partai sekular.
: ungkapan di atas bukanlah fatwa Ibnu Taimiyah mengenai kebolehan melakukan dengan pemerintahan yang tidak islami atau kebolehan berkoalisi dengan partai-partai sekular sehingga seseorang menyatakan bahwa kita boleh bertaklid pada fatwa seorang ulama. Sebab, pernyataan tersebut hanyalah pernyataan yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah dengan , sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Alhasil dengan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ungkapan yang dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab di atas tidak bisa dijadikan argumen atas kebolehan dengan pemerintahan yang tidak islami atau kebolehan koalisi dengan partai-partai sekular. Apalagi konteks ungkapan Ibn Taimiyah di atas pada dasarnya hanyalah ungkapan hiperbolik yang menjelaskan keutamaan adil serta dorongan agar seseorang berbuat adil, tidak lebih. Ungkapan ini disitir oleh Imam Ibnu Taimiyah pada bab (kaidah dalam masalah hisbah/peradilan). Jadi, ungkapan ini hanya berhubungan dengan topik peradilan dan hal-hal yang berkaitan dengan peradilan, yakni keharusan seorang (hakim) menegakkan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Tentu ungkapan di atas sama sekali tidak berhubungan dengan kebolehan seorang Muslim melakukan dengan pemerintahan yang tidak islami, atau melakukan koalisi dengan partai-partai sekular (kafir).
Lalu bagaimana kewajiban kita? Kewajiban kita adalah mengubah masyarakat yang tidak islami menjadi masayarakat yang islam. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:8
أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ
.
Hadis tersebut menjelaskan dengan (jelas) kewajiban seorang Muslim untuk mengubah sistem yang tidak islami menjadi sistem Islam.
Nabi saw. juga memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi para penguasa yang telah menampakkan kekufuran nyata (). Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Ubadah bin Shamit yang berkata:9
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
(HR al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang Muslim wajib mencabut kekuasaan dari seorang penguasa yang telah terjatuh pada kekufuran yang nyata ().
Pada saat yang sama, Nabi saw. tetap memerintahkan kaum Muslim untuk menaati penguasa zalim dan fasik, sepanjang dia masih menerapkan syariah Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat. Nash-nash yang berbicara masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:10
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
.
Terkait dengan hadis ini Imam al-Hafidz an-Nawawi11 menegaskan, “Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat, bahwa penguasa (Imam/Khalifah) itu tidak diturunkan hanya karena kefasikannya.”
Selanjutnya Imam an-Nawawi12 menegaskan:
Sebab mengapa penguasa (Imam/Khalifah) yang fasik tersebut tidak diturunkan serta mengapa haram keluar dari kekuasannya adalah akan berakibat pada terjadinya fitnah, tertumpahnya darah dan kerusakan karena permusuhan…Karena itu, kerusakan yang terjadi akibat penurunan Khalifah/Imam adalah lebih besar daripada kalau mereka dibiarkan (tetap berkuasa).
. [KH Musthafa A. Murtadlo]
Catatan kaki:
1 Ibnu Taimiyyah, , VI/322.
2 Jamaluddin al-Qashimi,, 1/77.
3 Lihat: Ibn Taimiyyah, , Dar al-Ma’arif li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, Beirut, tt., hlm. 15 dan 156; Al-Jurjani,, hlm. 147.
4 Syaikh Ihsan Abdul Mun’im Samarah, , hlm. 49.
5 Al-Qurthubi, X/165-166.
6 Al-Jurjani, hlm. 152.
7 Dr. Muhammad Sidiq Afifi, , 91.
8 Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, , V/139.
9 Al-Bukhari, VI/2588, hadis nomor 6647.
10 , VI/2588, hadis nomor 6645.
11 Al-Hafizh an-Nawawi, juz 6 hal 314
Sabtu, 24 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
-
▼
2009
(21)
-
▼
Oktober
(13)
- Keadilan menurut Ibn Taimiyah
- belajar dari FIS dari al jazaer dan Hasan al banna...
- Pemerintahan Baru: Lanjutkan Neoliberalisme [Al-I...
- Yahudi dan akhir Zaman menurut Al Quran dan Al kitab
- NOBEL BAGI OBAMA, IRONI BAGI DUNIA ISLAM Komite N...
- MEWASPADAI DATANGNYA MUSIBAH LAIN
- Islam, Khilafah, dan Hizbut Tahrir Dalam Pandangan...
- Islam, Khilafah, dan Hizbut Tahrir Dalam Pandangan...
- RAIH TAKWA, SONGSONG TEGAKNYA SYARIAH DAN KHILAFAH
- Berharap pada DPR baru ?
- Dunia islam harus bangkit
- sejarah kepemimpinan islam
- ketakutan barat akan khilafah
-
▼
Oktober
(13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar