Masukkan Code ini K1-43E2AC-4
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

kumpulblogger

Sabtu, 05 Juni 2010

Syirik yang Sering Diucapkan

Syirik yang Sering Diucapkan

”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapatkan taufiq Allah Ta’ala. Kita semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) alam semesta, Yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, Yang menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah, dan Yang menurunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rizki bagi kita. Setelah kita mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menjadikan bagi-Nya tandingan/sekutu dalam beribadah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 22)

Lebih samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma –yang sangat luas dan mendalam ilmunya- menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan,”Yang dimaksud membuat sekutu bagi Allah (dalam ayat di atas, pen) adalah berbuat syirik. Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan
malam.” Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mencontohkan perbuatan syirik yang samar tersebut seperti,

‘Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan’, ‘ Demi hidupku’ atau ‘Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’ atau ‘Kalau bukan karena angsa yang ada di rumah ini tentu datanglah pencuri-pencuri itu’, dan ucapan seseorang kepada kawannya ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, juga ucapan seseorang ‘Kalau bukan karena Allah dan karena fulan’. Akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

(Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi) Itulah syirik. Ada sebagian yang telah diketahui dengan jelas seperti menyembelih, bernadzar, berdo’a, meminta dihilangkan musibah (istighotsah) kepada selain Allah. Dan terdapat pula bentuk syirik (seperti dikatakan Ibnu Abbas di atas) yang sangat sulit dikenali (sangat samar). Syirik seperti ini ada 2 macam.

Pertama, syirik dalam niat dan tujuan.
Ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam hati dan yang mengetahuinya hanya Allah Ta’ala.
Seperti seseorang yang shalat dalam keadaan ingin dilihat (riya’) atau didengar (sum’ah) orang lain. Tidak ada yang mengetahui perbuatan seperti ini kecuali Allah Ta’ala.

Kedua, syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara i’tiqod/keyakinan). Syirik semacam inilah yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Karena kesamarannya lebih dari jejak semut yang merayap di atas batu hitam di
tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, sedikit sekali yang mengetahui syirik seperti ini secara jelas. (Lihat I’anatul Mustafid bisyarh Kitabut Tauhid, hal. 158, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan) Berikut ini akan disebutkan beberapa contoh syirik yang masih samar, dianggap remeh, dan sering diucapkan dengan lisan oleh manusia saat ini. Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa Perbuatan seperti ini banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia saat ini –barangkali juga kita-. Lidah ini begitu mudahnya mencela makhluk yang tidak mampu berbuat sedikit pun, seperti di antara kita sering mencela
waktu, angin, atau pun hujan. Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’. Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti itu. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci mereka pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih).

Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan,’Hari ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek’-, tanpa tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.Bersumpah dengan menyebut Nama selain Allah Bersumpah dengan nama selain Allah juga sering diucapkan oleh orang-orang saat ini, seperti ucapan, ‘Demi Nyi Roro Kidul’ atau ‘Aku bersumpah dengan
nama ...’. Semua perkataan seperti ini diharamkan bahkan termasuk syirik. Karena hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hatinya mengagungkan selain Allah kemudian digunakan untuk bersumpah. Padahal pengagungan seperti ini hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Ta’ala semata. Barangsiapa mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan suatu pengagungan yang hanya layak diperuntukkan kepada Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam). Namun, apabila orang yang bersumpah tersebut tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik ashgor (syirik kecil yang lebih besar dari dosa besar). Berhati-hatilah dengan bersumpah seperti ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya,

”Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jaami’)

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah Perbuatan ini juga dianggap sepele oleh kebanyakan orang saat ini. Padahal menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik dan kekufuran kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan tentang orang yang mengingkari nikmat Allah dalam firman-Nya yang artinya,
”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An Nahl: 83)
Menurut salah satu penafsiran ayat ini : ‘Mereka mengenal berbagai nikmat Allah (yaitu semua nikmat yang disebutkan dalam surat An Nahl) dengan hati
mereka, namun lisan mereka menyandarkan berbagai nikmat tersebut kepada selain Allah. Atau mereka mengatakan nikmat tersebut berasal dari Allah,
akan tetapi hati mereka menyandarkannya kepada selain Allah’. Menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik karena orang yang menyadarkan nikmat kepada selain Allah berarti telah menyatakan bahwa selain Allah-lah yang telah memberikan nikmat (ini termasuk syirik dalam tauhid rububiyah). Dan ini juga berarti dia telah meninggalkan ibadah syukur. Meninggalkan syukur berarti telah menafikan (meniadakan) tauhid. Setiap hamba mempunyai kewajiban untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Contoh dari hal ini adalah mengatakan ‘Rumah ini adalah warisan dari ayahku’. Jika memang cuma sekedar berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah, maka perkataan ini tidaklah mengapa. Namun, yang dimaksudkan termasuk syirik di sini adalah jika dia mengatakan demikian dan melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah Ta’ala.
Marilah kita berusaha tatkala mendapatkan nikmat, selalu bersyukur pada Allah dengan memenuhi 3 rukun syukur, yaitu:
[1] Mensykuri nikmat tersebut dengan lisan,
[2] Mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah dengan hati, dan
[3] Berusaha menggunakan nikmat tersebut dengan melakukan ketaatan kepada Allah. (Lihat I’anatul Mustafid, hal. 148-149 dan Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, II/93)

Perbaikilah Diri
Jarang sekali manusia mengetahui bahwa hal-hal di atas termasuk kesyirikan dan kebanyakan orang selalu menyepelekan hal ini dengan sering
mengucapkannya . Padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya,

”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa [4]: 116).

Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk mempelajari aqidah di mana perkara ini sering dilalaikan dan jarang dipelajari oleh
kebanyakan manusia. Aqidah adalah poros dari seluruh perkara agama. Jika aqidah telah benar, maka perkara lainnya juga akan benar. Jika aqidah
rusak, maka perkara lainnya juga akan rusak. Hendaknya pula kita memperbaiki diri dengan selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang kita hendak ucapkan. Ingatlah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,

”Boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang diridhai Allah namun tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah mengangkat
derajatnya. Namun boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang dimurkai Allah dan tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah
memasukkannya dalam neraka.” (HR. Bukhari)

Jika kita sudah terlanjur melakukan syirik yang samar ini, maka leburlah dengan do’a yang pernah diucapkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam:

’Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika sya’an wa ana a’lamu wa astaghfiruka minadz dzanbilladzi laa a’lamu’ (Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari perbuatan menyukutakan-Mu dengan sesuatu padahal aku mengetahuinya. Aku juga memohon ampunan kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak aku sadari) (HR. Ahmad).
***

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Zakat dan Pajak

http://www.dakwatuna.com

Zakat dan Pajak

Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________


Adakah Kewajiban Harta Selain Zakat?

dakwatuna.com – Zakat adalah kewajiban periodik harta, dan wajib dikeluarkan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Dalam kondisi biasa seorang muslim tidak diwajibkan selain zakat, kecuali dengan sukarela.

1. Dalam kondisi darurat terdapat kewajiban harta selain zakat, yang disepakati para ulama, yaitu:

- Hak kedua orang tua, dalam bentuk nafkah yang mereka butuhkan pada saat anaknya kaya.
- Hak kerabat, dengan perbedaan tingkat kedekatan yang mewajibkan nafkah.
- Hak orang-orang yang sangat membutuhkan pakaian atau rumah tinggal.
- Membantu keluarga untuk membayar diyat pembunuhan yang tidak disengaja.
- Hak kaum muslimin yang sedang ditimpa bencana.

2. Masih ada hak-hak lain yang masih diperdebatkan apakah wajib atau sunnah, antara lain:

- Hak tamu selama tiga hari.
- Hak orang yang hendak meminjam kebutuhan rumah, bagi tetangga.

3. Sedangkan hak fakir miskin terhadap harta orang kaya secara umum sudah banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits. Dan bentuk masyarakat Islami yang saling melindungi tidak akan pernah terwujud tanpa hal ini.

Ketika zakat sudah mengcover kebutuhan fakir miskin, maka orang-orang kaya tidak diminta yang selain zakat. Namun jika zakat belum mencukupi, maka harus diambilkan dari orang-orang kaya selain zakat untuk dapat mencukupi kebutuhan dasar fakir miskin. Sebagaimana diambil pula dari orang kaya itu kebutuhan untuk melindungi negara dari ancaman musuh jika dari zakat belum mencukupi. Semua ini hampir disepakati oleh para ulama, meskipun terdapat perbedaan di seputar maslah adakah kewajiban harta selain zakat. Perbedaan ini berpulang pada kewajiban selain zakat yang permanen, bukan yang insidental.

Bolehkan Menetapkan Pajak Bersama Dengan Zakat?

Bagi imam setelah bermusyawarah dengan ahlul halli wal aqdi, diperbolehkan untuk menetapkan zakat kepada kaum muslimin selain zakat, dengan dalil:

a. Jaminan sosial kaum muslimin hukumnya wajib. Jika dari zakat dan pendapatan kas negara tidak cukup, maka boleh menetapkan pajak tambahan kepada orang kaya.

b. Belanja negara sangat banyak, pos-pos dan sumber zakat sangat terbatas, maka bagaimana mungkin mampu menutup kebutuhan negara yang tidak masuk dalam pintu distribusi zakat? Dan bagaimana mampu menutup pos penerima zakat jika sumber zakatnya sangat kecil?

c. Kewajiban yang tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya sarana, maka menghadirkan sarana itu menjadi kewajiban pula. Dari kaidah ushul fiqih inilah Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i memperbolehkan imam untuk mewajibkan kepada orang kaya untuk membiayai kebutuhan seorang tentara. Demikian juga Imam Asy-Syathibiy Al-Maliki, memperbolehkan imam yang adil untuk menugaskan orang kaya membiayai tentara selain dari baitul mal. Dan para ulama lain berpendapat seperti ini.

Syarat-syarat yang wajib diperhatikan dalam penetapan pajak:

a. Terdapat kebutuhan riil yang tidak tercukupi oleh sumber-sumber pendanaan konvensional (zakat, bagi hasil, dan lain-lain).

b. Pembagian beban pajak secara adil kepada mereka yang mampu.

c. Penyaluran uang pajak untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan penguasa.

d. Mendapat persetujuan dewan permusyawaratan atau ahlul halli wal aqdi. Karena penetapan pajak merupakan keputusan sensitif yang mengintervensi kepemilikan pribadi yang dilindungi hukum, maka tidak diperbolehkan mengambilnya kecuali karena kebutuhan syar’i yang ditetapkan oleh ahlul halli wal aqdi.

Pajak yang ditetapkan dengan memenuhi syarat-syarat di atas tidak lagi masuk dalam pungutan liar dan cukai yang tercela dan diharamkan dalam beberapa hadits.

Zakat dan Pajak

Meskipun pajak dan zakat memiliki titik singgung yang sama, yaitu kewajiban yang mengikat, dan kekuasaan yang menekan, namun di antara keduanya terdapat perbedaan penting, yaitu:

- Bahwa zakat itu adalah ibadah, dan pajak adalah kewajiban kepada negara.

- Penetapan nishab dan persentase zakat ditetapkan oleh syariat, maka hukumnya tetap dan tidak berubah. Sedangkan pajak ditetapkan oleh ulil amri, maka merekalah yang menentukan dan menghapuskan.

- Pajak berhubungan antara warga dan negara. Sedangkan zakat adalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Seorang muzakki akan membayar zakatnya, meskipun tidak ada yang menagihnya.

- Pajak terbatas sasarannya, hanya pada target materi; sedangkan zakat memiliki sasaran ruhiyah, akhlak, dan insaniyah (kemanusiaan). Zakat adalah ibadah yang sekaligus pungutan.

Persentase Progresif antara Pajak dan Zakat

Pajak dengan persentase tetap ialah yang telah ditetapkan persentasenya dengan satu ketentuan, meskipun kekayaan bertambah banyak. Sedangkan pajak progresif semakin besar presentasenya sesuai dengan pertambahan kekayaan, seperti 10% untuk ribuan pertama, 12% untuk ribuan kedua, 14% untuk ribuan ketiga, dan seterusnya.

Dan yang terkenal dalam zakat adalah persentase tetap, tidak dengan persentase progresif, meskipun kekayaan yang dikeluarkan zakatnya semakin besar. Untuk uang misalnya, persentase zakatnya 2,5% baik bagi yang memiliki uang yang mencapai nishab ataupun yang memiliki seribu kali nishab. Apa hikmah di balik itu?

1. Tujuan pajak progresif adalah untuk mengembalikan keseimbangan dan mendekatkan kesenjangan. Tujuan ini sangat serius diwujudkan dalam Islam, tetapi dengan cara di luar zakat. Sistem waris (harta pusaka), wasiat, larangan riba, larangan penimbunan, dan larangan cara-cara haram lainnya, adalah upaya untuk mewujudkan tujuan di atas

2. Zakat yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada fakir miskin, memiliki peran besar dalam mewujudkan tujuan di atas. Pada saat pajak progresif diambil dari seluruh lapisan dan terkadang dari fakir miskin pula, kemudian digunakan untuk belanja negara secara umum yang dimanfaatkan oleh orang kaya juga.

3. Zakat sebagai ibadah harus ditetapkan dengan baku dan tidak berubah-ubah. Hal ini tidak menghalangi negara ketika membutuhkan untuk menetapkan pajak selain zakat. Ulil amri dapat memetakan kemaslahatan yang digunakan untuk menetapkan pajak progresif dalam kondisi tertentu. Sedangkan zakat tidak membuka peluang intervensi
pendapat dan penyesuaian.

http://www.dakwatuna.com/2008/zakat-dan-pajak/

Geologi dalam Peradaban Islam

Geologi merupakan
cabang ilmu alam yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat
fisik, sejarah, dan proses asal mula terbentuknya bumi serta sejarah
perkembangannya. Studi ini mendapat perhatian penting dari para ilmuwan Muslim
di zaman kekhalifahan.

Ilmu ini
dipandang memiliki kegunaan dan manfaat yang begitu besar. Betapa tidak.
Geologi mampu membantu peradaban Manusia dalam menemukan dan mengatur sumber
daya alam yang ada di bumi, seperti minyak bumi, batu bara, dan juga metal
seperti besi, tembaga, emas dan uranium.

Selain itu, studi
yang dikembangkan para saintis Islam itu juga sangat membantu dalam menemukan
zat mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomi, seperti: asbestos, perlit,
mika, fosfat, zeolit, tanah liat, pumis, kuarsa, dan silika, dan juga elemen
lainnya seperti belerang, klorin, dan helium. Sejak era kekhalifahan, umat
Islam telah mampu menemukan ladang minyak serta besi, emas dan lainnya.

Adalah ilmuwan Barat bernama Fielding H Garisson yang menyatakan bahwa studi
geologi modern dimulai pada era kekhalifahan. Dalam bukunya berjudul History of Medicine, Garisson mengatakan,
“Umat Islam di abad pertengahan tak hanya mengawali berkembangnya aljabar,
kimia dan geologi. Namun, juga telah meningkatkan dan memuliakan peradaban.”

Abdus Salam
(1984) dalam Islam and Science
menyatakan bahwa Abu al-Raihan al-Biruni (973-1048 M) merupakan geolog Muslim
perintis yang berjasa mendirikan studi geologi modern.. Secara mendalam, ilmuwan
Muslim abad ke-11 M itu menulis tentang geologi India. Al-Biruni melontarkan sebuah
hipotesis bahwa anak benua India
awalnya adalah sebuah lautan.

"Jika Anda
melihat tanah India dengan
mata sendiri dan mengamati alamnya, sebenarnya daratan India awalnya
adalah laut,” papar al-Biruni dalam Book of
Coordinates. Ia juga menuturkan bahwa keberadaan kerang dan fosil
di wilayah negeri Hindustan menunjukkan bahwa
kawasan itu adalah lautan yang kemudian meningkat menjadi daratan kering.

Berdasarkan
penemuannya itu, al-Biruni menyatakan bahwa bumi secara konstan mengembang.
Temuannya itu memperkuat pandangan Islam yang menyatakan bahwa bumi tak kekal.
Teori bumi tak kekal yang dilontarkan al-Biruni itu berlawanan dengan keyakinan
ilmuwan Yunani Kuno yang berpendapat bahwa bumi itu kekal.

Al-Biruni pun lalu menyatakan bahwa bumi juga memiliki usia. Pendapat sang
ilmuwan Muslim di era kekhalifahan itu terbukti. Para Geolog modern akhirnya membuktikan
pendapat itu dengan menyatakan usia Bumi diperkirakan sekitar 4,5 miliar
(4,5x109) tahun.

Ilmuwan Muslim
legendaris, Ibnu Sina (981-1037) juga turut memberi kontribusi yang amat
penting bagi studi geologi. Avicenna – begitu masyarakat Barat biasa
menyebutnya -- menamakan geologi sebagai Attabieyat.
Dalam bab lima
ensiklopedia berjudul Kitab al-Shifa,
Ibnu Sina menjelaskan tentang mineralogi, meteorologi.

Selain itu, bab keenam Kitab Al-Shifa,
juga mengupas berbagai hal tentang bumi dan proses pembentukannya. Secara rinci
dan lugas, Ibnu Sina membahas tentang; pembentukan gunung; manfaat gunung dalam
pembentukan awan: sumber-sumber air, asal muasal gempa bumi; pembentukan
mineral-mineral; serta keanekaragamaan lahan tanah di bumi.

Pemikiran Ibnu Sina
tentang geologi ternyata sangat berpengaruh terhadap peradaban Barat. Berkat
jasa Avicenna-lah, masyarakat Barat kemudian mengenal hukum superposisi, konsep
katastropisme (bencana besar) serta doktrin uniformitarianism. Buah pikir Ibnu
Sina juga banyak mempengaruhi ilmuwan Barat bernama James Hutton dalam
mencetuskan Teori Bumi pada abad ke-18 M.

Secara terang-terangan, dua akademisi Barat bernama Toulmin dan Goodfield
(1965), menjelaskan sumbangsih yang diberika Ibnu Sina bagi studi geologi
modern. “Sekitar abad ke-10 M, Avicenna telah melontarkan hipotesis tentang
asal-muasal bentangan gunung. Padahal, 800 tahun kemudian, pemikiran seperti
itu masih dianggap radikal di dunia Kristen,” papar Toulim dan Goodfield.

Tak cuma itu,
metodelogi ilmiah serta observasi lapangan yang dikembangkan Ibnu Sina hingga
kini masih tetap menjadi bagian yang penting dalam investigasi geologi modern.
Studi geologi juga sebenarnya secara lusa tercantum dalam Alquran. Dalam Surat
Al-Hijr ayat 19 Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan
menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran.

Dalam Surat
An-Nahl ayat 15, Sang Khalik juga berfirman: “Dan Dia menancapkan gunung-gunung
di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan)
sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” Ayat-ayat inilah
yang kemungkinan memberi inspirasi bagi para ilmuwan Muslim untuk mengkaji
studi geologi.

Sumbangan lainnya
yang didedikasikan ilmuwan Muslim untuk studi geologi adalah penemuan
kristalisasi dalam proses pemurnian. Terobosan penting yang dilakukan Jabir
Ibnu Hayyan – saintis pada abad ke-8 M – itu sangat penting dalam kristallogi.
Bapak Sejarah Sains, George Sarton menegaskan bahwa Jabir Ibnu Hayyan juga
turut berkontribusi dalam geologi.

“Kami menemukan
dalam tulisannya (Jabir) pandangan tentang metode penelitian kimia, sebuah
teori pembentukan logam pada lapisan tanah, ” papar Sarton. Dalam risalah yang
ditulisnya, papar Sarton, Jabir Ibnu Hayyan menyatakan bahwa pada dasarnya
terdapat enam logam yang berbeda, akibat adanya perbedaan perbandingan sulfur
dan merkuri pada keenam jenis logam itu.

Bila kita simak
secara teliti, studi geologi mendapat perhatian dalam Alquran. Selain banyak
memaparkan tentang gunung, ayat suci Alquran juga membahas tentang tanah. Dalam
surat Al-A'raaf
ayat 58, Allah SWT berfirman, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh
subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya
tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.”

Dalam ayat
lainnya, Alquran juga menjelaskan adanya kandungan penting dalam tanah.
“Kepunyaan-Nya- lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di
antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (QS:Thaahaa: ayat 6). Allah SWT
juga berfirman dalam Surat Al-Kahfi ayat 41, “Atau airnya menjadi surut ke
dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi".

Sumbangsih
Saintis Muslim bagi Geologi

Sejarah mencatat
begitu banyak ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi di era keemasan Islam.
Menurut Guru Besar Universitas Yordania, Prof Abdulkader M Abed, para saintis
Islam itu mengkaji tema-tema khusus seperti mineral, batu-batuan serta permata.
Sayangnya, kebanyakan risalah itu banyak yang hilang dan tak eksis lagi.

Berikut ini
beberapa ilmuwan Muslim yang mengkaji geologi:

* Yahya bin
Masawaih (wafat 857 M): Dia menulis tentang permata dan kekayaannya.

* Al-Kindi (wafat 873 M): Menulis tiga risalah. Salah satu karyanya yang
terbaik berjudul "Gems and the
Likes".

* Al-Hasan
Bin Ahmad al-Hamdani(334 H): Menulis tiga buku mengenai metode eksplorasi emas,
perak, permata dan bahan mineral lainnya.

* Ikhwaan As-Safa
(pertengahan abad ke-4 H): Menulis ensiklopedia yang berisi bagian-bagian
minelar serta klasifikasinya.

* Abu Ar-Rayhan
Mohammad Bin Ahmad al-Biruni: (wafat 1048 M): Adalah ahli minerallogi terhebat
sepanjang seharah peradaban Islam. Selain menulis Book of Coordinates, dia juga menyusun buku berjudul Al-Jamhir fi Ma'rifatil Al-Jawahir. Yang
mengupas tentang cara mengenali permata. Buku itu dinilai sebagai kontribusi
terbaik yang disumbangkan perdaban Islam bagi studi minerallogi.

* Ahmad Bin
Yousef Al-Tifashi: Ia menulis kitab Azhar
Al-Afkar fi Jawahir Al-Ahjar yang berisi tentang cara mengenali
batu-batu mulia.

* Mohammad Bin
Ibrahim Ibnu Al-Akfani (wafat 1348A): menulis buku berjudul Nukhab Al-Thakhair fi Ahwaal Al-Jawahir.
Mengupas karakteristik batu-batu mulia.

Mineralogi
di Era Kekhalifahan

Para ilmuwan Muslim
di abad ke-10 hingga 11 M banyak menaruh perhatian untuk meneliti dan menulis
risalah tentang mineralogi. Studi mineralogi merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dari geologi. Sebab, mineralogi merupakan cabang geologi yang
berfokus pada sifat kimia, struktur kristal, dan fisika dari mineral.

Studi ini juga mencakup proses pembentukan dan perubahan mineral. Sekitar 10 abad
yang lalu, para saintis Muslim sudah mampu mengidentifikasi beragam jenis
mineral. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mempelajari mineral. Al-Biruni
dikenal sebagai pakar mineralogi Muslim yang paling hebat dalam sejarah
peradaban Islam.

Di zaman itu,
para ilmuwan Islam sudah mampu menjelaskan komposisi kimia dan struktur
kristal. Batu permata dan batu mulia dinilai para ilmuwan Muslim sebagai jenis
mineral yang khusus. Intan, batu nilam, jamrud serta yang lainnya digolongkan
ke dalam mineral. Sejak zaman dahulu batu-batu mulia itu menjadi lambang
kemewahan raja-raja dan para wanita.

Sumbangan
peradaban Islam dalam bidang mineralogi tak lepas dari keberhasilan umat Islam
menguasai wilayah-wilayah penting seperti Mesir, Mesopotamia, India
dan Romawi. Peradaban wilayah itu sebelumnya juga telah mengenal beragam jenis
mineral, batu mulia, dan permata. Karya-karya terdahulu itu lalu dikembangkan
dan diteliti lebih lanjut oleh para ilmuwan Muslim. Hri



http://www.republik a.co.id/berita/ 61926/Geologi_ dalam_Peradaban_ Islam

Hukum Syariat Tentang Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis Perintah Memulyakan Tamu

Hukum Syariat Tentang Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis

Perintah Memulyakan Tamu

Salah satu kewajiban yang dibebankan syariat kepada kaum Muslim adalah menyambut dan memulyakan tamu. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.”[HR. Bukhari dan Muslim]

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, “Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Tamu yang disebut di dalam hadits di atas mencakup tamu Mukmin maupun kafir. Kata “dlaifahu” termasuk dalam lafadz umum, sehingga mencakup semua jenis tamu; baik tamu Mukmin, kafir, laki-laki, maupun perempuan. Semua tamu wajib disambut dan dimulyakan dan dihormati berdasarkan nash-nash hadits di atas. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak tamu, sekadar dengan kemampuannya.

Hukum Syara’ Tentang Menerima Tamu dari Kalangan Penguasa Imperialis

Lalu, bagaimana jika tamu yang hendak berkunjung adalah penguasa-penguasa kafir imperialis yang telah terbukti mendzalimi, menganiaya, menjajah, membunuhi kaum Muslim, dan berusaha menistakan kesucian agama Islam? Apakah, ketentuan-ketentuan dalam hadits di atas tetap berlaku?

Jawabnya jelas, seorang Muslim dilarang (haram) menerima kunjungan, menyambut dan memulyakan tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang jelas-jelas telah terbukti merampas harta, menciderai kehormatan, dan melenyapkan ribuan jiwa kaum Muslim. Alasannya sebagai berikut;

Pertama, larangan menampakkan loyalitas dan kasih sayang kepada orang-orang kafir, lebih-lebih lagi kafir imperialis yang menghisap harta dan darah kaum Muslim. Allah swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalanKu dan mencari keridhaanKu (janganlah kamu berbuat demikian)”. [TQS Al Mumtahanah (60):1]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ$ هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوْ كُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”. [TQS. Ali ‘Imran (3): 118-119]

Kunjungan Barack Obama –penguasa kafir imperialis yang telah membunuhi ribuan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, dan pendukung utama negara teroris Israel–, jelas-jelas harus ditolak, dan jika ia memaksa datang, tidak boleh disambut dengan sambutan mulia dan kasih sayang. Pasalnya, ia adalah musuh Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kunjungannya di Indonesia diduga membawa agenda-agenda jahat, semacam liberalisasi ekonomi, demokratisasi, serta pressure politik-pressure politik yang merugikan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Lantas, bagaimana kita akan menerima kunjungannya dan menampakkan rasa hormat dan menyambutnya dengan sambutan kasih sayang –yang sebenarnya ini adalah watak asli umat Islam–, jika orang yang hendak datang adalah penguasa kafir yang dzalim dan lalim terhadap umat Islam?

Kedua, larangan menyakiti kaum Muslim. Penerimaan dan penyambutan Barack Obama di negeri ini, tentu saja akan menyebabkan bertambahnya penderitaan dan rasa sakit kaum Muslim yang pada saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, dan negeri-negeri kaum Muslim lainnya. Padahal, Allah swt dan RasulNya telah melarang kaum Muslim menyakiti saudaranya sendiri, baik dengan ucapan maupun tindakannya. Allah swt berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.[TQS Al Ahzab (33):58]

Nabi saw melalui lisannya yang suci bersabda:

«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Penerimaan kunjungan Barack Obama tidak hanya menyakiti saudara-saudara Muslim di negeri-negeri yang secara langsung didzalimi dan dijajah oleh Amerika Serikat, tetapi juga wujud “menyerahkan saudara-saudara Muslim kita” kepada musuh Islam dan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa penguasa negeri ini menerima kunjungan Barack Obama, dan menyambutnya dengan sambutan kenegaraan? Lantas, seandainya negeri ini dikuasai dan diduduki oleh Amerika –dan faktanya kita sekarang sudah dijajah oleh mereka secara non fisik–, lantas apakah kita akan tetap bersikap manis terhadap mereka? Sungguh, hanya orang-orang munafik yang memiliki kasih sayang dan rasa hormat kepada musuh-musuh Allah dan kaum Muslim.

Ketiga, kewajiban membela saudara Muslim yang tidak berada di dekatnya. Nabi Mohammad saw bersabda;

مَنْ نَصَرَ أَخَاهُ بِظَهْرِ الْغَيْبِ نَصَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]

Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang. Di dalam hadits-hadits lain, Nabi saw juga bersabda:

مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة

“Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”. [HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. Hadits Abu Darda ra ini telah ditakhrij oleh Ahmad. Ia berkata hadits ini sanadnya hasan. Al-Haitsami mengatakan hal yang sama)

Hadits riwayat Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma binti Yazid, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

مَنْ ذَبَّ عَنْ عَرَضِ أَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".[HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid]

Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika, adalah menolak kunjungan, kerjasama, maupun intervensi non fisik dari penguasa-penguasa kafir imperialis dan antek-anteknya, semacam Amerika, Inggris, dan Israel.

Keempat, perilaku shahabat. Selain nash-nash di atas, perilaku generasi salafush shalih juga menunjukkan kepada kita, bagaimana sikap seharusnya seorang Muslim. Riwayat-riwayat berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku shahabat terhadap orang-orang kafir, lebih-lebih yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Salamah bin Al Akwa’ ra, bahwasanya ia berkata;

…فَلَمَّا اصْطَلَحْنَا نَحْنُ وَأَهْلُ مَكَّةَ، وَاخْتَلَطَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ، أَتَيْتُ شَجَرَةً، فَكَسَحْتُ شَوْكَهَا، فَاضْطَجَعْتُ فِي أَصْلِهَا، قَالَ: فَأَتَانِي أَرْبَعَةٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ، مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَجَعَلُوا يَقَعُونَ فِي رَسُولِ اللهِ ، فَأَبْغَضْتُهُمْ، فَتَحَوَّلْتُ إِلَى شَجَرَةٍ أُخْرَى

“Ketika kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, aku mendatangi suatu pohon kemudian aku menyingkirkan durinya dan aku merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepadaku empat orang kaum Musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah, maka aku pun membenci mereka, hingga aku pindah ke pohon yang lain”.[HR. Imam Muslim]

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Abdullah bin Rawahah berkata kepada Yahudi Khaibar:

«يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، أَنْتُمْ أَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَيَّ، قَتَلْتُمْ أَنْبِيَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَّاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ…»

“Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku untuk berlaku sewenang-wenang kepada kalian”.[HR. Imam Ahmad]

Imam Ahmad, Abdur Razak, Al Hakim, dan Abu Ya’la menuturkan hadits hasan dari Abu Faras, ia berkata; Umar bin Khathab pernah berkhutbah dan berkata:

…مَنْ أَظْهَرَ مِنْكُمْ شَرًّا، ظَنَنَّا بِهِ شَرًّا، وأَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ

“Barang siapa di antara kalian menampakan suatu kejahatan, maka kami akan menduganya berlaku jahat, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu..” [HR. Imam Ahmad, Abdur Razaq, Al Hakim, dan Abu Ya'la. Imam Al Hakim menyatakan bahwa hadits ini hasan menurut syarat Imam Muslim]

Menepis Syubhat

Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menerima utusan Musailamah Al Kadzdzab, dan Abu Sofyan pemimpin Quraisy. Riwayat-riwayat ini sering dijadikan argumentasi bolehnya seorang Muslim menerima kunjungan dan menyambut tamu dari kalangan orang kafir penjajah. Padahal, dengan pembacaan yang seksama dan teliti dapatlah disimpulkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak layak dijadikan hujjah atas argumentasi mereka. Untuk itu, kami perlu memaparkan panjang lebar riwayat tersebut agar tidak ada kesalahan dalam penarikan kesimpulannya.

Imam Ahmad dan Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’iy ra bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada dua orang utusan, ketika beliau saw membaca surat Musailamah al-Kadzdzab, “Apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Musailamah al-Kadzdzab.” Nabi saw pun bersabda, “Demi Allah, seandainya bukan karena para utusan tidak boleh diutus, niscaya akan kupenggal leher kalian berdua”.[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]

Di dalam Sunan Abu Dawud dikisahkan bahwasanya, ‘Abdullah bin Mas’ud pernah menjalin pershahabatan dengan seorang Arab, lalu beliau berkehendak untuk mengunjunginya. Dalam perjalanannya, beliau melewati sebuah masjid milik Bani Hanifah, dan disaksikannya bahwa Bani Hanifah telah menjadi pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Melihat keadaan itu, ‘Abdullah bin Mas’ud ra diutus menemui mereka untuk menyadarkan mereka. Beliau ra pun menemui mereka dan menyadarkan kesesatan dan kekeliruan mereka. Setelah mendapatkan penjelasan dari beliau, semua penduduk Bani Hanifah kembali ke pangkuan Islam, kecuali Ibnu Nawwahah. Ia tetap bersikukuh menjadi pengikut setia Musailamah al-Kadzdzab. Ibnu Mas’ud ra berkata kepadanya, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”. Akan tetapi, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan”. Ibnu Mas’ud segera memerintahkan Qurzah bin Ka’ab untuk memenggal leher Ibnu Nawwahah. Dan akhirnya, Ibnu Nawwahah dipenggal lehernya di pasar. Setelah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Siapa saja yang ingin mengetahui Ibnu Nawwahah, kini ia telah terbunuh di pasar”.

Dari paparan seluruh riwayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa seorang utusan yang datang ke dalam Daulah Khilafah Islamiyyah haruslah mendapatkan perlindungan, selama mereka adalah berkedudukan sebagai utusan (delegasi). Dengan demikian, riwayat-riwayat di atas berhubungan dengan dengan hukum melindungi utusan, bukan berkaitan dengan hukum menerima dan menyambut tamu. Bahkan, di dalam riwayat itu jelas sekali ditunjukkan, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap utusan-utusan kaum kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Sabda beliau, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”, menunjukkan bahwa beliau bersikap sangat keras dan tidak menunjukkan penerimaan yang ramah terhadap mereka. Begitu pula sikap seharusnya penguasa Muslim ketika menghadapi penguasa kafir penjajah yang memusuhi umat Islam, yakni menekan, merendahkan, mengancam, dan memerangi mereka jika mereka tidak menghentikan permusuhan dan penganiayaan mereka terhadap umat Islam.

Begitu pula riwayat mengenai kunjungan Abu Sofyan kepada Madinah, juga tidak berhubungan dengan penyambutan tamu atau penghormatan tamu dari kalangan penguasa kafir. Kunjungan Abu Sofyan ke Madinah dikarenakan ia ingin memperbarui perjanjian dengan Rasulullah saw setelah sebelumnya orang-orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Nabi saw. Penyerangan Quraisy terhadap Bani Khuza’ah tersebut telah membatalkan perjanjian Hudaibiyyah yang ditandatangani antara Kaum Quraisy dan Nabi saw. Oleh karena itu, Abu Sofyan mendatangi Nabi saw di Madinah untuk memulihkan perjanjian damai. Ibnu Hisyam dalam Kitab Sirahnya menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb datang ke tempat Nabi saw. Ia berbicara dengan beliau, namun beliau saw tidak menggubrisnya. Lalu, Abu Sofyan pergi ke tempat Abu Bakar ra, dan menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah saw, namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak mau!”. Kemudian, Abu Sofyan bin Harb mendatangi rumah Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar malah berkata, “Aku harus membelamu di hadapan Rasulullah saw? Demi Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, aku akan memerangimu bersamanya”. Abu Sofyan keluar dari rumah Umar bin Khaththab ra dan menemui Ali bin Abi Thalib ra yang saat itu sedang bersama dengan isterinya, Fathimah binti Mohammad saw dan anak keduanya, Hasan bin ‘Ali yang sedang merangkak. Abu Sofyan berkata, “Hai, Ali, engkau adalah orang yang paling penyayang. Aku datang kepadamu untuk satu keperluan, oleh karena itu, jangan pulangkan aku dalam keadaan gagal total. Belalah aku di hadapan Rasulullah saw”. Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah kamu, hai Abu Sofyan! Demi Allah, Rasulullah saw telah bertekad kepada sesuatu dan kita tidak bisa bernegoisasi dengan beliau”. Abu Sofyan menoleh kepada Fathimah binti Mohammad, seraya berkata, “Wahai putri Mohammad, maukah engkau menyuruh anak kecilmu ini melindungi manusia, kemudian ia akan menjadi pemimpin Arab sepanjang zaman? Fathimah menjawab, “Demi Allah, annakku tidak bisa melindungi manusia dan seorangpun tidak bisa melindungi mereka dari Rasulullah saw…. Abu Sofyan menaiki untanya dan pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa? Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Mohammad saw kemudian berbicara dengannya, namun ia tidak menyahut sedikitpun. Kemudian aku datang kepada Abu Bakar, namun aku tidak melihat kebaikan sedikitpun dari dirinya. Lalu, aku menemui Umar bin Khaththab dan mendapatinya orang yang paling keras permusuhannya. Kemudian aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mendapatinya orang yang paling lembut. Ia menasehatiku untuk melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak. Orang-orang Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu? Abu Sofyan bin Harb menjawab, “Aku disuruh untuk melindungi manusia dan aku pun melakukannya”. Orang-orang Quriasy berkata lagi, “Apakah Mohammad membolehkannya? Abu Sofyan menjawab, “Tidak!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah dipermainkan oleh Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak bermanfaat bagimu”. Abu Sofyan berkata, “Demi Allah, aku tidak memiliki alternatif lain”. [Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, hal.735]

Riwayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sofyan, beliau saw sama sekali tidak menggubris kedatangannya, bahkan beliau siap menyerang Mekah, karena pengkhianatan kaum Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyyah. Nabi saw tidak pernah menerima dan menyambut Abi Sofyan bin Harb dengan penyambutan kenegaraan yang menunjukkan rasa hormat dan belas kasih, namun beliau saw memperlakukan Abu Sofyan ra dengan sangat keras, hingga harga diri dan kesombongan Abu Sofyan luruh bagaikan sekawanan laron yang tersambar api pelita. Lalu, dari arah mana bisa dinyatakan bahwa para penguasa negeri-negeri Islam wajib menerima, menyambut, dan memulyakan tamu dari kalangan para penguasa kafir yang lalim dan dzalim itu, dengan alasan bahwa Nabi saw pernah menerima dan menyambut Abu Sofyan bin Harb? Padahal, bukankah Nabi saw jelas-jelas menolak dan tidak menggubris kedatangan Abu Sofyan bin Harb, begitu pula sikap para shahabat? Atas dasar itu, menggunakan kisah kedatangan Abu Sofyan ke Madinah adalah istinbath yang keliru dan mengada-ada.

Lalu, setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang tetap bersikukuh untuk menerima, menyambut, dan menghormati kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas terbukti menganiaya dan membunuhi ribuan kaum Muslim, serta merampok dan menguras habis kekayaan umat Islam?

Kesimpulannya:

(1) seorang Muslim, lebih-lebih lagi penguasa Muslim dilarang (haram) menerima dan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim,

(2) sikap sejati seorang Muslim adalah bersikap keras terhadap orang-orang kafir, dan membela saudara-saudaranya yang saat ini tengah dianiaya oleh orang-orang kafir,

(3) jika penguasa Muslim memiliki kemampuan, maka ia wajib membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan, penganiayaan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh kafir imperialis, dengan mencurahkan segenap kemampuan fisik maupun non fisiknya. Wallahul Musta’aan Wa Huwa Waliyut Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy; Lajnah Tsaqofi Hizbut Tahrir Indonesia]

Sekulerisme Mengokohkan Penjajahan

Sekulerisme Mengokohkan Penjajahan

Pro kontra judicial review UU 1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penodaan/penistaan agama sesungguhnya mencerminkan pertarungan ideologi antara Islam dan Sekulerisme-Liberal. Argumentasi dengan cara pandang sekulerisme tampak dari pernyataan perwakilan Konferensi Wali Gereja (KWI) Beny Susetyo (10/02) yang mengatakan negara tidak dapat membatasi hak umat beragama. Menurutnya, kebebasan beragama merupakan hak mutlak setiap individu. Indonesia bukanlah suatu negara agama sehingga negara tidak dapat melakukan intervensi.

Sekulerisme sendiri yang menjadi dasar dari sistem Kapitalisme pada intinya menolak agama dijadikan dasar negara. Agama hanya berfungsi mengatur urusan-urusan individual, moralitas, dan ritual. Agama dilarang mencampuri urusan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Karena agama urusan pribadi, negara tidak boleh mencampuri keyakinan seseorang. Negara tidak boleh menghakimi keyakinan rakyatnya.

Pandangan sekuler di atas jelas ditolak oleh Islam, sekaligus berbahaya. Bila pandangan ini diterima maka akan terjadi pengerdilan Islam dengan membatasinya pada urusan individual, ritual dan moralitas. Sebaliknya, dalam aspek yang lain seperti ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dll Islam tidak dipakai sama sekali. Aspek yang dikenal sebagai aspek muamalah (yang mengatur kehidupan manusia dengan sesamanya) ini kemudian diatur oleh aturan di luar Islam, yakni kapitalisme-liberal.

Padahal kapitalisme-liberal inilah pangkal bencana yang menimpa manusia. Dalam aspek ekonomi, kapitalisme-liberal yang rakus telah menimbulkan penjajahan negara-negara maju atas Dunia Ketiga. Indonesia adalah negara yang mengalami sejarah panjang kolonialisme yang mengerikan itu. Kedatangan penjajah di bumi Nusantara telah membawa penderitaan yang tak terperi.

Sekarang negara-negara kapitalisme liberal menjajah dan merampok kekayaan alam kita atas nama investasi asing, pasar bebas, privatisasi, utang luar negeri, dan rezim mata uang dolar. Akibat diprivatisasi, pendidikan dan kesehatan menjadi mahal dan semakin tidak bisa dijangkau. Orang miskin seakan tidak boleh sakit dan tidak boleh pintar. Pengurangan subsidi yang menjadi ciri dari kebijakan liberal ini pun telah menyebabkan BBM menjadi mahal karena mengikuti harga internasional. Dampaknya luar biasa; biaya hidup menjadi tinggi, harga-harga melambung tinggi, para pekerja terancam PHK, kemiskinan pun meningkat. Kebijakan kapitalisme-liberal ini pun secara sistematis menjadi sarana merampok kekayaan alam kita.

Kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian meningkat tidak bisa dilepaskan dari kesulitan ekonomi. Liberalisme menjadi pintu gaya hidup yang penuh dengan kemaksiatan seperti kebebasan seksual, pornografi, lesbianisme, homoseksual, pelacuran. Semua ini terjadi karena kapitalisme-liberal meminggirkan peran Islam dalam aspek ekonomi dan sosial. Inilah bahaya dari pandangan sekulerisme.

Dalam pandangan Islam, agama bukan saja boleh mengintervensi negara, bahkan Islam wajib menjadi dasar negara. Negara harus menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum. Syariah Islam harus mengatur segala aspek kehidupan; bukan hanya masalah individual, moral, atau ritual; tetapi juga ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Negara dalam pandangan Islam wajib campur tangan. Tentu saja bukan dalam pengertian memaksa warga non-Muslim untuk memeluk agama Islam atau melarang non-Muslim tidak boleh beribadah. Campur tangan negara wajib dan diperlukan semata-mata dalam menjaga akidah umat Islam dan eksistensi agama Islam itu sendiri.

Sebagai kepala negara Daulah Islam, Rasulullah SAW pun dengan tegas menjatuhkan sanksi hukuman mati bagi orang yang murtad. Abu Bakar ra, saat menjadi khalifah memerangi Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi. Mengapa negara hirau dalam masalah akidah ini? Sebab, akidah adalah dasar dan pondasi setiap Muslim dan negara. Kalau pondasi ini lemah, negara juga pada akhirnya akan lemah.

Karena itu, pandangan sekuler jelas berbahaya. Dengan alasan kebebasan beragama, misalnya, seorang Muslim bisa dengan seenaknya murtad dari Islam. Dengan alasan kebebasan berkeyakinan, orang dibiarkan membuat keyakinan yang aneh-aneh: mengaku nabi, mengaku Jibril, shalat dua bahasa, ibadah haji tidak perlu ke Makkah, dll. Sikap negara yang mendiamkan masalah ini jelas membuat akidah menjadi persoalan remeh.

Selanjutnya, berdasarkan akidah Islam ini negara mengatur masyarakat dengan menerapkan syariah Islam. Syariah Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap individu masyarakat. Syariah Islam juga mengatur bahwa pendidikan dan kesehatan harus gratis untuk warga negara, Muslim maupun non-Muslim. Syariah Islam juga akan menjamin keamanan warganya, Muslim ataupun non-Muslim.

Syariah Islam juga akan menjadikan kekayaan alam yang merupakan milik umum (seperti minyak, emas, batu bara, timah, dll) menjadi milik rakyat yang tidak boleh diserahkan kepada individu atau perusahaan asing. Negara akan mengelolanya dengan baik dan hasilnya diserahkan untuk kepentingan masyarakat.

Walhasil, umat Islam harus bersungguh-sungguh memperjuangkan negara yang berdasarkan Islam. Hanya dengan itulah akidah umat terjaga, masyarakat sejahtera, keamanan terjamin dan kesatuan negara kokoh. [Farid Wadjdi]

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2010/02/22/sekulerisme-mengokohkan-penjajahan/

Musuh Islam Berlabel Islam Yang Didanai Asia Foundation.txt

Dengan dana uang The Asia Fondation Islam Liberal menyusupi ormas Islam seperti NU, Muhammadiyyah,
Hidayatullah, YPI Al Azhar, dan sebagainya. Selain menyusup mereka juga membentuk organisasi seperti JIL
dan Paramadina. Dengan cara ini mereka merusak Islam dari dalam dengan paham pluralisme, tafsir tematik/
hermeunetika (mentafsirkan al Qur'an dengan pola pikir sekuler), kesetaraan gender, filsafat serta aliran sufi
yang bertentangan dengan Islam.

Musuh Islam Berlabel Islam

Inilah daftar lembaga beserta nama tokoh dan alamatnya yang meminta-minta (istilah Ulil Abshar Abdalla,
Koordinator JIL: mengaju­kan proposal dana, lalu dalam bahasa pergaulan dipakai ungkapan partner dalam
kerjasama) kepada The Asia Foundation

Ghirah dan kecemburuan kaum Muslimin terhadap ajaran Islam yang agung, dewasa ini betul-betul meng­hadapi
ujian berat. Serbuan propaganda kekafiran, kemaksiatan dan hujatan bahkan pelecehan terhadap Islam mengalir
deras tak terbendung. Secara historis, memanglah wajar, mengingat per­se­teruan antara haq dan batil
memang tidak pernah berakhir, hingga akhir zaman.

Namun, yang amat menggelisahkan adalah realitas bahwa banyak kalangan Muslim yang dengan setia menjadi
penonton dari pertun­jukan kafir di depan kelopak matanya. Tidak sedikit pula kaum Muslimin yang secara
tegas membantu menghina dan melecehkan ajaran Islam di hadapan orang-orang kafir! Hinaan dan pelecehan itu
terkadang diaplikasikan dalam bentuk tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti melakukan
sebuah kekafiran, terkadang juga berupa ucapan yang secara sadar atau tidak sadar sebenarnya adalah
hujatan terhadap Islam!

Yang paling parah lagi, bila itu dilakukan oleh orang yang memakai label Islam. Salah satunya adalah majalah
Syir'ah yang didanai oleh The Asia Foundation (TAF).
Mendengar nama TAF, tentu tidak heran lagi telinga kita, pastilah lembaga yang didanai bersenyawa dengan
kelompok Liberalis berkedok Islam lainnya. Sebab, hampir semua LSM yang didanai oleh TAF, produknya
sama, yaitu menggerogoti akidah Islam. Kekacauan yang terbesar adalah penyebaran racun-racun pluralisme,
liberalisme dan inklusivisme yang diusung oleh JIL dengan Komunitas Utan Kayunya, Paramadina dengan Fiqih
Lintas Agamanya dan Musdah Mulia dengan Kompilasi Hukum Islamnya.

Majalah Syir'ah, namanya sangat bagus, berarti jalan yang terang, diambil dari Al-Qur`an surat Al-Ma`idah
48: Wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhajan terjemah Indonesianya: Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Motonya pun cukup bagus, Mengurai Fakta Menenggang Beda: Berangkat dari kesadaran akan perbedaan.
Perbedaan sebagai ciptaan Allah yang abadi. Bukan untuk bertikai, melainkan untuk berlomba-lomba untuk
berbuat kebajikan.

Tapi akhlaknya buruk tidak seindah moto­nya. Misinya kotor tak seterang nama­nya. Setiap edisi yang
diterbitkan tiap bulan, selalu ada racun yang ditebarkan kepada pembaca di negara Muslim terbesar di
dunia ini. Topik racunnya pun monoton, yakni mencitranegatifkan umat Islam, mencitrapositifkan Yahudi dan Nasrani, serta melegalisasi pemurtadan umat Islam.

Ternyata Syir'ah tidak mengurai fakta menenggang beda, tapi mengurai fitnah menenggang pemurtadan. MAG, MAI


MEREKA ADALAH SAUDARA SEPERSUSUAN Yang didanai The Asia Foundation (TAF)

Inilah daftar lembaga beserta nama tokoh dan alamatnya yang meminta-minta (istilah Ulil Abshar Abdalla,
Koordinator JIL: mengaju­kan proposal dana, lalu dalam bahasa pergaulan dipakai ungkapan partner dalam
kerjasama) kepada The Asia Foundation:

1. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Ulil Abshar Abdalla dan Nong
Mahmada, Jl. Utan Kayu 68-H Jakarta Timur.

2. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Dr Djohan Effendi dan Ulil Abshar Abdalla, Jl.
Percetakan Negara No. C-553, Jakarta Pusat.

3. Paramadina (Penggencaran Pluralisme Agama/Menyamakan Semua Agama), Kautsar Azhari Noer, Jl
TB Simatupang Pondok Indah Plaza III F5/7 Jakarta.

4. Majalah Syir'ah, Alamsyah M Dja'far, Jl Asembaris Raya M Kavling 8 Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan.

5. Lembaga Buruh, Tani dan Nelayan (LBTN), PP Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman, Jl. Menteng Raya 62
Jakarta Pusat.

6. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Pramono U Tantowi dan Rizal, PP Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya
62 Jakarta Pusat.

7. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Munawar, Hendrik dan Denden (Retas), Kantor PP Muhammadiyah, Jl.
Menteng Raya 62 Jakarta Pusat.

8. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LP3-UMY), Said
Tuhuleley, Budi dan Asykuri Chamim, Gedung AR Fachruddin Kampus UMY, Jl. Lingkar Selatan Tamantirto
Kasihan, Yogyakarta.

9. Lembaga Penelitian Universitas Muham­madiyah Surakarta (UMS), Gustin, Jl. A Yani, Pabelan,
Surakarta, Jawa Tengah.

10. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh, Afdhal Jihad, Jl KH A Dahlan, Banda Aceh.

11. Pemuda Muhammadiyah (PM) Aceh, A Malik Musa, Jl. KHA Dahlan, Banda Aceh.

12. Fatayat NU, Dra Maria Ulfah Anshor, Marhamah dan Iin, Gedung PBNU Jl Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.

13. Lakpesdam NU, Masykur Maskub, Imdadun Rahmat dan Taswan, Jl. H. Ramli No 29A Menteng Dalam, Tebet,
Jakarta Selatan.

14. PUAN Amal Hayati (Urusan Gender), Sinta Nuriya (istri Gus Dur), Jl. Warung Silah No. 30 RT 02/05
Kompleks Masjid Al-Munawwarah, Ciganjur, Jakarta.

15. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Masdar F Mas'udi, Jl. Cililitan Kecil III/12,
Kramat Jati, Jakarta Timur.

16. Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta, Najib, Tompeyan TR III/133 Yogyakarta.

17. Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto, Jl Purus I No. 8A Padang, Sumatera Barat.

18. Gender Team for Ministry of Religious Affairs (GT-MORA), Dra Siti Musdah Mulia, Departemen Agama RI,
Jl. Lapangan Banteng No 4-6 Jakarta Pusat.

19. Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Dra Siti Musdah Mulia, Jl Matraman Masjid I.A Jakarta Selatan.

20. Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Dr
Masykuri Abdillah dan Hakim Jamil, Jl Ir H Juanda 95
Ciputat.

21. Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Rosatria, Jl Ir H Juanda 95
Ciputat.

22. Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(urusan gender), Dr Amsal Bachtiar, Jl Ir H Juanda 95
Ciputat.

23. Desantara, Drs Bisri Effendi, Jl. Raya Citayam 35 Depok.

24. DPP Korps Perempuan Majelis Dakwah Islam (MDI) (Bidang Garapan tentang Gender), Hj Juniwati T
Maschjun Sofwan dan Nilmayetti, Jl Anggrek Nelly Murni
11A, Slipi Jakarta Barat.

25. Indonesian Center for Islam and Pluralism (ICIP), Syafii Anwar dan Syafiq Hasyim, Jl Hang Lekiu I No. 09
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

26. Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, Nurcholish Madjid, Jl Gatot Subroto
IV/Kemiri NO 102 Banjarmasin Kalsel.

27. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS), Amiruddin, M JadulMaula, Fikri dan Luth, Sorowajan Baru, Jl Pura
No 1 Yogyakarta.

28. Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat dan Pesantren (LKPMP) Makassar, Azhar Arsyad, Jl Faisal
Raya No 22 Blok 22B Makassar.

29. Lembaga Studi Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI), Anick, Jl Ir H Juanda Gg Swadaya Rt 01/08 Pisangan,
Ciputat.

30. Rahima (Urusan Gender), Syafiq Hasyim, Jl Pancoran Timur IIA No 10 Pasar Minggu Jakarta Selatan, dan
masih banyak lagi.

(Sumber: Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Hartono Ahmad Jaiz, Darul Falah Jakarta, Cet. I, Juli 2004,
hlm.158-164).

Sumber : Majalah Tabligh

Islam Agama yang Bersih dari Kemusyrikan - Mengesakan Allah

Assalamu'alaikum wr wb

Islam Agama yang Bersih dari Kemusyrikan - Mengesakan Allah

Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan misi menyampaikan kalimat Tauhid, yaitu agar manusia menyembah Allah semata dan tidak menyembah sembahan lainnya selain Allah.
Seorang Muslim wajib beriman atau mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Sebagaimana TV, Mobil, Kulkas, dan lain-lain yang tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa ada pembuatnya, begitu pula langit, bumi, bintang, matahari, manusia, dan lain-lain. Tentu ada yang membuatnya, yaitu Allah!

“Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” [Al Kahfi:37]

“Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mu’min.” [Al ‘Ankabuut:44]

Setelah mempercayai keberadaan Tuhan, ummat Islam wajib beriman bahwa Tuhan itu satu.

Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW diutus Allah dengan misi menyampaikan kalimat Tauhid, yaitu agar manusia menyembah Allah semata dan tidak menyembah sembahan lainnya selain Allah:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”.

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.” [Al Kahfi:110]

Nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim juga mengajarkan tauhid kepada ummatnya, yaitu agar hanya menyembah satu Tuhan, yaitu: Allah, dan tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),” [An Nahl:120]

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [An Nahl:123]

Luqman yang saleh pun dalam Al Qur’an diceritakan menasehati agar anaknya tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain:

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” [Luqman:13]

Seharusnya setiap orang tua mencontoh Luqman untuk menanamkan ajaran Tauhid kepada setiap anaknya.

Dalam Islam, mengesakan Allah adalah rukun yang pertama. Jika seorang masuk Islam, dia harus menyatakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya:

“Hadis Ibnu Umar r.a: Nabi s.a.w telah bersabda: Islam ditegakkan di atas lima perkara yaitu mengesakan Allah, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan dan mengerjakan Haji “ [HR Bukhori-Muslim]

Sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [Al An’aam:79]

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.” [Al An’aam:1]

Jika ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah, misalnya berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sia-sia, karena berhala itu bukanlah Tuhan yang Maha Pencipta. Justru berhala itulah yang dibuat oleh manusia:

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” [Al A’raaf:191]

“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa`at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah:76]

Menyembah Yesus atau Isa sebagai Tuhan adalah dosa yang amat besar. Tuhan adalah Pencipta alam semesta, sedang Yesus atau Isa bukanlah pencipta alam semesta. Yesus atau Isa adalah seorang manusia yang dilahirkan dari rahim ibunya, Siti Maryam:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” [Al Maa-idah:72]

Sesungguhnya, kafirlah orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu bisa beranak dan dilahirkan layaknya manusia, sehingga ada lebih dari 1 Tuhan seperti Tuhan Bapa dan Tuhan Anak. Bagaimana Allah bisa punya anak, padahal dia tidak punya istri? Adakah (na’udzubillah min dzalik!) mereka mengira bahwa Tuhan berzina dengan Maryam sehingga punya anak di luar nikah? Allah SWT membantah kebohongan itu:

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” [Al An’aam:101]

Dalam surat Al Ikhlas ditegaskan:

“Katakanlah: Allah itu Satu

Allah tempat meminta

Dia tidak beranak dan tidak diperanakan

Dan tak ada satu pun yang setara dengannya” [Al Ikhlas 1-4]

Sesungguhnya syirik atau mempersekutukan Tuhan adalah dosa yang amat besar:

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al Hajj:31]

“Katakanlah: “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”.” [Ar Ruum:42]

Jelas sekali bukan ayat Al Qur’an di atas bagi orang-orang yang berpikir atau berakal bahwa syirik itu adalah perbuatan sesat dan dosa.

Sesungguhnya syirik atau mempersekutukan Tuhan itu adalah dosa yang tidak

terampuni. Ini adalah perkataan Allah SWT sendiri yang tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An Nisaa’:116]

Jika seseorang melakukan kemusyrikan, maka sia-sialah amalnya meski mereka banyak berbuat hal-hal yang dianggap oleh manusia “baik”:

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al An’aam:88]

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az Zumar:65]

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.” [At Taubah:17]

Sesungguhnya, Tauhid (Mengakui Tuhan itu ada dan satu, yaitu Allah SWT), adalah hal paling penting dan pertama-tama yang harus dipelajari oleh seorang Muslim. Nabi Muhammad SAW selama 13 tahun masa-masa pertama kenabiannya, gigih menyampaikan ajaran Tauhid kepada orang-orang kafir Quraisy, begitu pula setelahnya.

Saya melihat banyak orang yang terlalu fokus pada masalah fikih, tasauf, dan lain-lain, tapi kurang mengkaji masalah Tauhid. Padahal Tauhid ini adalah dasar dari agama Islam. Akibatnya, aqidah ummat Islam jadi lemah. Betapa banyak orang yang sholat, tapi tetap korupsi, betapa banyak orang yang haji tapi tetap berzinah, dan bahkan ada muslimah yang berjilbab, akhirnya nikah dengan orang kafir dan menjadi kafir pula. Banyak orang yang murtad karena kurang beres Tauhid-nya. Itulah jika kita terlalu sibuk pada hal sekunder, sehingga lupa pada hal yang primer: Tauhid!
http://media-islam.or.id/2007/09/06/tauhid-%E2%80%93-mengesakan-allah/

Wassalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu

Islam Agama yang Diridhai Allah SWT

Assalamu'alaikum wr wb,

Islam Agama yang Diridhai Allah SWT

Islam adalah agama orang-orang yang berserah diri kepada Allah dan tidak menyembah tuhan selain Allah:

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” [Ali Imran:64]

Sesungguhnya Islam sudah ada sejak zaman Nabi Adam dan Nabi Ibrahim:

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.” [Al Hajj:78]

Sesungguhnya Ibrahim dan Nabi-nabi lainnya beragama Islam. Bukan orang yang musyrik:

“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah : “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” [Al Baqarah:135]

“ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.“ [Al Baqarah:140]

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” [Al An’aam:161]

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [An Nahl:123]

Bahkan Ibrahim mewasiatkan keturunannya agar tidak mati kecuali dalam agama Islam:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” [Al Baqarah:132]

Agama yang diridhai Allah hanya Islam:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” [Ali Imran:19]

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An Nuur:55]

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Ali Maa-idah:3]

Tidak diterima agama selain Islam:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali Imran:85]

Hanya Islam agama yang bersih dari kemusyrikan. Islam hanya menyembah satu Tuhan yaitu Allah. Hanya mengabdi pada Allah. Segala kebaikan kepada makhluk lain tak lepas karena cinta kepada Allah:

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” [Az Zumar:3]

Media Islam

http://media-islam.or.id

Buih Itu Bernama Umat Islam

Buih Itu Bernama Umat Islam

Dalam laporannya terbaru, The Pew Forum on Religion and Public Life merilis bahwa jumlah populasi kaum muslimin dunia melonjak hampir 100 % dalam beberapa tahun terakhir ini. “Rata-rata pada setiap Negara bertambah dari semula 1 juta menjadi 1,8 juta penganut,” tulis laporan terbaru tentang riset yang dilakukan selama tiga tahun itu.

Angka pastinya, menurut laporan itu, jumlah kaum muslimin di seluruh dunia saat ini mencapai 1,57 miliar jiwa. "Kini, hampir satu dari empat penduduk dunia mempraktikkan ajaran Islam," tulis laporan tersebut dengan judul "Mapping the Global Muslim Population."

Melihat angka statistik di atas memang cukup fantastis. Kaum muslimin bisa berbesar hati. Mengapa tidak? Angka 1, 57 M bukanlah angka biasa melainkan luar biasa. Ini menun­jukkan bahwa kekuatan kaum muslimin dunia sangat diperhitungkan oleh dunia Barat umum­nya, dan khususnya kaum kuffar. Dan sekali lagi membuktikan bahwa Barat dan sekutunya terus memantau perkembangan dan populasi kaum muslimin belahan dunia setiap saat.

Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin dengan jumlah yang sedemikian besar? Sudahkah mereka menjadi bangsa yang disegani oleh musuh-musuhnya? Ataukah sebaliknya? Tulisan ini mencoba untuk menyelami betapa besarnya penderitaan yang dirasakan oleh kaum muslimin sekalipun mereka adalah bangsa yang besar.

Isyarat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam

Empat belas abad yang silam, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah mengabarkan kepada para shaha­batnya tentang kondisi kaum muslimin sepe­ninggalnya nanti. Isyarat yang beliau sampaikan itu bisa kita rasakan hari ini kebenarannya.

Imam Abu Dawud –rahimahullah- dalam Kitab Sunannya meriwayatkan dari shahabat Tsauban –radhiyallahu 'anhu- ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam :

"Hampir saja tiba (masanya) umat-umat akan mengeroyok kalian sebagaimana orang orang yang lapar mengeroyok makanan di meja makan."Ada seseorang yang bertanya, "Apakah karena jumlah kami yang sedikit waktu itu wahai Rasulullah (sehingga mereka berani mengeroyok kami)? Rasulullah menjawab, "Bahkan kalian pada waktu itu sangat banyak. Akan tetapi kalian adalah bebuihan sebagai mana bebuihan di lautan. Sungguh Allah im akan mencabut dari dada-dada musuh kalian rasa takut (terhadap kalian), serta mencampakkan ke dalam hati kalian penyakit wahn.” Lantas ada yang bertanya "Wahai Rasulullah, apa penyakit wahn tersebut." Rasulullah bersabda, "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu Dawud no. 4299, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash- Shahihah, 11/684.)

Keadaan inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah empat belas abad yang lalu yaitu jumlah kaum muslimin yang besar tetapi lemah sebagaimana lemahnya bebuihan di lautan lepas, terombang-ambing tiada arah, tujuan, dan pegangan. Dipermainkan oleh angin dan ombak besar. Dipecah kecil-kecil dan kemudian selanjutnya dihempaskan ke permukaan karang yang keras dan tandus. Demikianlah secara logika bila digambarkan nasib bebuihan di lautan; lemah dan tertindas. Sekalipun jumlahnya sangat banyak.

lepas dari data-data statistik di atas, yang jelas jumlah kaum muslimin yang mencapai 1,5 M dunia secara kualitas masih menye­dihkan. Negeri-negeri kaum muslimin secara umum adalah populasi dengan jumlah pen­duduk miskin yang tinggi; seperti nasib umat Islam di Afrika (Ethopia, Nigeria, Somalia), Asia (Pakistan, Bangladesh, India, termasuk Indone­sia). Padahal Negeri-negeri kaum muslimin tersebut secara umum memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Bahkan tingkat kebodohan di dunia Islam masih tinggi.



Secara politik jumlah yang besar tersebut pun tidak membuat umat Islam menjadi negara

adi daya di dunia. Meskipun sudah merdeka secara formal, namun sebagian besar Negeri ‑ negeri kaum muslimin masih belum independen, masih dijajah, tertindas dan tunduk kepada kepentingan Negara-negara Imperialis (Barat). Sebagian besar penguasa Negeri-negeri kaum muslimin adalah penguasa dictator yang represif dan mengabdi (kalau tidak dikatakan menjilat) kepada ‘kepentingan' Barat.

Maka tidaklah mengherankan meskipun jumlahnya besar, kaum muslimin tidak mampu membebaskan dirinya atau membebaskan saudara-saudaranya yang ditindas di pelbagai kawasan dunia Islam seperti Chechnya, Irak, Afghanistan, Pakistan, Thailand Selatan, Philipina Selatan, Turkistan Timur (Xianjiang), Bosnia, Palestina, bahkan di Indonesia sekalipun. Umat Islam belum bisa berbuat banyak menghentikan kekejaman Israel di jalur Ghaza yang membunuh ribuan umat Islam dalam beberapa minggu.

Padahal jika dihitung jumlah penduduk, Israel hanya 8 juta jiwa. Bandingkan dengan jumlah (gabungan) kaum muslimin Iran (74 juta), lrak (30 juta), Suriah (20 juta), Saudi Arabia (25 juta), Yaman (23 juta ), Mesir (79 juta) dan populasi muslim hampir mencapai 251 juta. Belum lagi Indonesia yang diperkirakan mencapai (200 juta) jiwa umat Islam. Artinya kalaulah diambiil 10 % saja menjadi tentara, berarti ada 25 juta tentara yang bisa digerakkan untuk membebaskan Palestina. Tapi itu sama sekali tidak terjadi. Karena tidak ada yang memobilisasi tentara yang demikian banyak itu.

Apa yang telah digambarkan oleh hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam di atas sangatlah tepat. Seperti makanan yang dikerubungi oleh musuh­-musuhnya yang buas. Padahal jumlah kaum muslimin sangat banyak. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menggambarkan umat Islam bagaikan bebuihan di lautan, banyak tetapi lemah.

Siapa Yang Mesti Bertanggung Jawab?

Suatu hari pada pertengan bulan Syawal tahun 2 H, seorang wanita muslimah yang sedang berdagang di Pasar Qainuqa' diganggu oleh seorang pedagang Yahudi hingga tersingkap auratnya. Ketika wanita tersebut marah ia justru ditertawakan orang-orang Yahudi sepasar. Bersamaan dengan itu, seorang pemuda muslim yang melihat kejadian itu ikut marah, lalu ia menghardik si Yahudi yang usil tadi bahkan akhirnya ia membunuhnya. Or­ang-orang Yahudi di pasar tersebut murka dan ramai-ramai mengeroyok si pemuda serta membantainya.

Peristiwa tersebut menggemparkan Kota Madinah, dan sampai kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Beliau pun mengumpulkan para shahabat untuk meneliti sebab musabab terbunuhnya seorang muslim di Pasar Yahudi Qainuqa'. Setelah melalui penyelidikan yang cermat dan mendalam, akhirnya Rasulullah menyim­pulkan bahwa Yahudi Qainuqa' telah melanggar perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, dimana telah disepakati sejak kedatangan Rasulullah ke Madinah bahwasanya mereka dan kaum muslimin tidak boleh saling mengganggu atau membantu pihak lain yang mengganggu.

Selanjutnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam memakai baju perangnya memimpin kaum muslimin untuk memerangi Yahudi Qainuqa'. Selama 15 malam, wilayah Qainuqa' dikepung oleh kaum muslimin, ternyata mereka yang semula sombong dengan keberanian dan kegagahan, kini ketakutan dan tidak berani untuk melawan. Sehingg akhirnya mereka menyerah dan diusiir dari Madinah ke Khaibar tanpa pertumpahan darah. Sekali lagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menunjukkan kebesaran jiwanya dalam menghadapi Yahudi Qainuqa'. Namun demikian, hukum tetap ditegakkan terhadap pengkhianat perjanjian dengan tidak mengizinkan Yahudi Qainuqa' tinggal di sekitar Madinah lagi. Inilah ketegasan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam terhadap pengkhianatan.

Dari fakta sejarah di atas, ada satu pelajaran penting tentang Izzul Islam wal Muslimin (Kemuliaan Islam dan Muslimin). Betapa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam tidak membiarkan gangguan fisik dalam bentuk apa pun terhadap kaum muslimin. Mengganggu seorang wanita muslimah berarti mengganggu seluruh kaum muslimin. Melecehkan kehormatan seorang wanita muslimah berarti melecehkan kehormatan Islam dan kaum muslimin.

Sekarang coba kita saksikan, ribuan muslimah dilecehkan, kehormatannya diinjak­-injak, auratnya dipermalukan, suami-suami mereka dibunuh tanpa alasan yang haq, rumah­rumah mereka dibombardir, dirusak, dan karakter mereka dibunuh. Kita hanya bisa diam seribu bahasa, berpangku tangan tanpa tindakan, sekalipun hanya membela dengan lantunan doa. Malah sebagian besar kaum muslimin sibuk membahas politik, ekonomi, kesejahteraan diri dan keluarga mereka. Adapun terhadap saudara-saudara mereka, tidak ada 'sedikitpun' sikap pembelaan mereka, malah 'terkadang' justru menjatuhkan. Bahkan ironisnya ketika ada seseorang 'yang dibunuh' bukan karena mempertahankan diennya (ke­Islamannya), mereka bela mati-matian, dibentuk team pencari fakta, dan ditumpas sampai ke akar-akarnya. Namun, terbunuh karena mempertahankan agamanya, mereka tuduh sebagai teroris, penjahat, serta tuduhan keji lainnya. Kini sudah saatnya, thoifah manshuroh dimunculkan. Genderang perang salib baru telah ditabuh dan diumumkan secara blak­belakan oleh orang-orang kuffar. Saatnya kaum muslimin merapatkan barisan mereka, untuk mengambil bagian mereka dari 'kancah pertanggungjawaban' mereka di hadapan kaum muslimin terlebih kelak di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu A’lam bish Shawab (Azhar)

Sumber :

Media Islam An-Najah No.05/VI/Maret/2010

Sikap Lemah Kepada Penjajah

Sikap Lemah Kepada Penjajah

Meskipun ditunda hingga Juni, rencana kehadiran Obama kemarin telah menunjukkan kepada kita bagaimana sikap lemah pemimpin negeri ini terhadap penjajah. Sikap yang membuat kita terus dijajah oleh negara bajingan seperti AS dan sekutunya. Padahal sangat jelas AS adalah muhariban fi’lan yang secara langsung menduduki , membunuh, menyiksa umat Islam dalam perang mereka di Irak, Pakistan dan Afghanistan. Amerika juga secara nyata telah mendukung entitas Zionis Israel yang menjajah dan membunuh kaum muslim di Palestina. Di Indonesia, AS menjadi pelaku perampokan kekayaan alam Indonesia mulai dari Aceh hingga Papua.

Namun, kita menyaksikan bagaimana pemimpin negeri ini menyambut sang pembantai umat Islam sebagai tamu terhormat. Bahkan menyatakan ada yang menyatakan umat Islam masih membutuhkan Amerika karena negara Adi Daya. Pernyataan yang menyakitkan , bagaima seorang muslim menyatakan bahwa umat Islam membutuhkan pembunuh umat Islam dan perampok kekayaan alam negeri Islam ?

Hal ini mencerminkan sikap pengecut , lemah, dan ketergantungan pemimpin negeri ini kepada musuh-musuh kita. Padahal Allah SWT dengan sangat tegas telah melarang kita menjadikan musuh-musuh Allah menjadi wali, penolong, pemimpin dan sahabat umat Islam. Bukankah Allah SWT telah berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. [TQS. Ali ‘Imran (3): 118]

Allah swt juga telah melarang kita untuk cendrung kepada orang –orang dzalim yang akan menghantarkan kita pada siksa api neraka. Bayangkan , cendrung kepada orang yang dzolim saja sudah dilarang oleh Allah SWT , apalagi kemudian bersahabat dan menjadikan mereka sebagai tamu terhormat. Firman Allah SWT :

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.(QS al Huud : 113) .Dalam tafsir Jalalain dijelaskan cendrung kepada orang yang zalim itu berarti memiliki kecondongan hati kepada orang-orang yang dzolim dengan rasa cinta dan berbaik-baik dengan mereka atau ridho terhadap perbuatan mereka.

Sikap pengecut terutama para penguasa negeri Islam terhadap penjajah inilah yang membuat penjajahan terhadap umat Islam terus berlangsung. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang digambarkan oleh Rosulullah saw sebagai penyakit ‘ al wahn’ yang menjangkiti umat Islam , yakni penyakit cinta dunia dan takut mati. Inilah yang membuat umat Islam, meskipun jumlah banyak , tapi lemah, bagaikan buih dilautan.

Penyakit al wahn ini juga yang membuat seorang muslim kemudian menggadaikan idealismenya demi jabatannya dalam sistem kufur yang rapuh dan busuk. Menganggap menerima Obama tidak masalah. Padahal pemerintah AS yang sekarang ini dipimpin oleh Obama telah membunuh jutaan umat Islam di berbagai kawasan dunia. Sementara Rosulullah saw sendiri menegaskan tentang pentingnya nyawa seorang muslim. Sampai-sampai Rosulullah bersabda : Hancurnya bumi beserta isinya adalah lebih ringan bagi Allah dibanding dengan terbunuhnya seorang muslim.”

“al Wahn” ini pulalah yang telah membuat seorang muslim tidak merasa berdosa menerima Obama. Padahal Obama telah menjadi pembela setia Israel , bahkan berjanji untuk dengan segala cara memujudkan mimpi Israel. “Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60.

Satu hal yang kita lupakan kemuliaan kita bukanlah tergantung kepada orang-orang kafir , apalagi penjajah umat Islam. Di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.(QS Faathir: 10) Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan tentang ayat ini : barang siapa yang menginginkan al ‘izzah ( kemuliaan, kedudukan, kemenangan) di dunia dan di akhirat , maka dia harus terikat dengan pada ketaatan kepada Allah SWT.Dikarenakan Allah-lah Penguasa di dunia dan di akhirat.

Sangat jelas kemuliaaan akan kita raih kalau kita bersandar kepada Allah SWT dengan mentaati perintah-Nya, dengan cara itu kita bisa lepas dari penjajahan. Penjajahan terjadi karena kita tidak taat kepada syariah-Nya. Kita terpecah belah, tidak bersatu padahal itu adalah perintah Allah SWT untuk bersatu dengan dasar aqidah Islam tanpa tanpa melihat bangsa, warna kulit, ras, atau geografinya.

Penjajahan ekonomi terjadi karena kita menggunakan prinsip-prinsip kapitalis seperti ribawi dalam perekonomian kita yang dengan keras dilarang Allah SWT. Mata uang kita rentan menghadapi goncangan, akibat kita masih menginduk kepada dollar. Padahal dengan dinar(emas) dan dirham (perak) – mata uang yang berdasarkan syariah- akan lebih menjamin stabilitas mata uang.

Demikian juga, eksploitasi terhadap kekayaan alam kita terjadi, karena kita melanggar syariat Islam yang mengatakan barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘ammah) , merupakan milik rakyat yang tidak boleh diberikan kepada individu , apalagi swasta asing. Pemilikan umum harus dikelola oleh negara dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kemashlahatan rakyat.

Kita juga masih dijajah karena kita masih tunduk pada penguasa-penguasa yang menjadi kaki tangan asing,yang dengan rela menjual negaranya , bahkan membiarkan rakyatnya terbunuh, untuk menyenangkan tuan-tuan besarnya - penjajah kapitalis. Penguasa-penguasa antek seperti ini terpilih karena kita menggunakan sistem demokrasi yang menjadi alat penjajahan negara-negara Imprialis untuk mendudukkan agen-agen mereka.

Belum cukupkah kita mengalami kesulitan dan kehinaan dengan kehidupan kita sekarang ? Kehidupan yang tidak mendapat keberkahan Islam, tidak mendapat keberkahan hidup dibawah naungan Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam ? Atau kita tetap diam, sementara kita , anak dan cucu kita telah menjadi korban konspirasi yang makin meningkat melalui tangan-tangan kaum imperialis dan antek-antek mereka? Belum tibakah waktunya bagi kita untuk bergerak dan merubah realita buruk ini dengan jalan melengserkan para penguasa komprador dan menegakkan pemerintahan Khilafah? (Farid Wadjdi)

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/21/sikap-lemah-kepada-penjajah

RIDDAH

RIDDAH

Oleh: Muhammad Rahmat Kurnia |

Riddah. Itulah kata yang terkait dengan tanda kekafiran yang ada dalam diri seorang Muslim. Riddah menurut bahasa berarti kembali ke jalan tempat ia sebelumnya datang. Sedangkan, menurut istilah syara, riddah bermakna kembalinya seorang Muslim dari Islam kepada kekufuran (ruju' al-muslim 'an al-islam ila al-kufri). Karenanya, berbicara masalah tanda kekafiran sebenarnya sedang berbicara tentang tanda riddah (Syarh Kitab at-Tawhid, Abdullah bin Muhammad al-Ghaniman, Jilid 130, hal. 7). Makna ini dapat dipahami di antaranya dari Alquran surat al-Baqarah:217, al-Maidah:4, dan an-Nahl:109.

Allah SWT memberitakan tentang adanya orang yang keluar kepada kekufuran setelah sebelumnya beriman (TQS. Muhammad:25, at-Tawbah: 65-66 dan 74). Bahkan, sepeninggal Rasulullah SAW ada yang kembali kepada kekufuran dengan menolak kewajiban mengeluarkan zakat, atau mengingkari kenabian Muhammad SAW dengan dalih Nabi tidak mungkin mati. Mereka adalah orang-orang yang belum menghunjam keimanan dalam dadanya. Para sahabat pun bersikap tegas terhadap mereka hingga mereka kembali kepada Islam. Melihat hal ini bukan hal aneh apabila ada di antara umat Islam yang memiliki tanda-tanda riddah dalam dirinya. Yang penting, siapa pun perlu memahaminya agar tidak terjerumus ke dalamnya. Na'udzu billah min dzalik.

Dalam kitab Mafahim Aqidah Fil Islam, ad-Dimyati menyebutkan bahwa tanda-tanda kekufuran dapat terjadi dalam ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i'tiqad). Hanya saja, terkait dengan i'tiqad tidak dapat diketahui secara lahiriah kecuali bila ia menunjukkannya dalam ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hal ini, tidak mungkin kita menghakimi bahwa ia benar-benar telah kufur dalam i'tiqad kecuali apabila benar-benar secara lahir telah tampak kekufurannya.

Banyak tanda-tanda kekufuran itu. Di antaranya, pertama, mendustakan ajaran Islam baik ajaran yang terdapat dalam Alquran maupun yang dijelaskan dalam sunnah Rasulullah SAW (Ta'liqat 'ala syarhi lum'atu al-I'tiqad, As-Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, Juz 1, hal. 23). Hal ini diantaranya ditegaskan dalam surat al-Insyiqaq ayat 21-22. Termasuk di dalamnya ragu terhadap akidah Islam, serta ragu terhadap perkara yang qath'i (pasti). Misalnya mengatakan Allah SWT mempunyai sekutu, Alquran itu bukan kalamullah, hukum Allah itu tidak ada, dll. Termasuk juga di dalamnya ingkar terhadap perkara-perkara yang diatur Islam seperti ingkar terhadap shalat dengan mengatakan bahwa shalat itu sekadar masalah social acceptance (penerimaan sosial), bukan kewajiban. Juga, mengingkari kewajiban zakat, puasa, haji, kewajiban jihad, keharaman khamr, judi, zina dan sebagainya.

Kedua, menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum digali bukan dari hukum Allah yang ada dalam ajaran Islam, melainkan digali dari pikiran dan logika manusia itu sendiri. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya“ (TQS. An-Nisaa:60). Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya menyebutkan ”Ayat ini diturunkan saat kaum munafik tidak mau berhukum kepada Rasulullah melainkan kepada penguasa jahiliyah (hukkam al-jahiliyah), yakni Ka'ab al-Asyraf. Ayat ini secara umum merupakan pengingkaran dari Allah SWT terhadap keimanan seseorang yang berhukum pada selain apa yang diturunkan dalam Alquran dan as-Sunnah” (Tafsir Alquran al-'Azhim, Juz 2, hal. 88). Hal senada disebutkan juga dalam surat Lukman:21, an-Nur:51, dan an-Nisa:65.

Ketiga, membenci sesuatu yang ada dalam ajaran Islam. ”Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Alalah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (yaitu Al-Qur'an) lalu Allah menghapus pahala amal-amal mereka.” (TQS. Muhammad 8-9). Makna 'benci kepada apa yang diturunkan Allah' adalah 'mereka tidak menghendakinya dan tidak menyukainya' (Tafsir Alquran al-'Azhim, Juz 7, hal. 310). Imam Ath-Thabari menegaskan, 'Mereka membenci kitab Kami yang telah Kami turunkan kepada Nabi Kami Muhammad SAW, anti terhadapnya, seraya mendustakannya, dan mengatakan ini sihir yang nyata' (Jami' al-Bayan fi Ta'wil Alquran, Juz 22, hal. 162). Sesungguhnya membenci Rasulullah atau apa yang berasal dari Allah dan shahih dari Rasulullah termasuk tanda riddah yang dapat mengeluarkannya dari Islam (Al-Mufashol fi Ahkam al-Hijrah, Ali Ibn Nayif asy-Syuhud, Juz 4, hal. 106). Benci terhadap jilbab sebagai ajaran Islam, kriminalisasi poligami sebagai penolakan hukum yang dibolehkan Islam, kriminalisasi janggut, pernyataan 'Islam adalah ideologi setan (evil ideology)', benci terhadap syariat Islam termasuk menolak peraturan daerah yang dianggap berasal dari syariat Islam, kalau syariat Islam diterapkan maka yang pertama kali menjadi korban adalah perempuan, hukum Islam diskriminatif, hukum rajam/potong tangan itu kejam, kembali kepada syariat Islam berarti kembali ke abad 2 H, dll termasuk tanda-tanda yang dapat menjerumuskan pelakunya kedalam kekufuran.

Keempat, iman kepada sebagian ajaran Islam dan kufur terhadap sebagian lainnya. Misalnya, paham sekulerisme. Paham ini mengakui ajaran Islam dalam masalah ritual seperti shalat, zakat, haji, puasa, dll tetapi menolak hukum Islam mengatur masalah sosial, politik, ekonomi, dan persoalan publik lain. Lalu, untuk mengisi kekosongan hukum dalam masalah publik dibuatlah hukum lain yang bukan berasal dari Islam. ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan RasulNya dan bermaksud meperbedakan antara Allah dan RasulNya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain) serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kufur). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan” (TQS. An-Nisaa:150-151). Imam Ath-Thabari menuliskan, 'Mereka mengatakan ”kami mengimani ini tapi mengingkari yang itu”. Lalu, mereka menjadikan jalan menuju kesesatan yang mereka buat-buat dan bid'ah yang mereka ada-adakan. Namun demikian, mereka tetap mengaku-aku beriman. Padahal, Allah menegaskan Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya' (Jami' al-Bayan fi Ta'wil Alquran, Juz 9, hal. 353).

Kelima, menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (TQS. Ali 'Imran: 28; an-Nisa: 139, 144; al-Maidah: 51, 57, 81). Di antara penampakan perwalian terhadap kaum kafir adalah menjadikan mereka sebagai pemberi bantuan dan pertolongan atas kaum Muslim, serta pujian kaum Muslim kepada kaum kafir. Ini bertentangan dengan Islam serta termasuk dalam salah satu sebab terjadinya riddah (al-Irsyad Ila Shahih al-I'tiqad, hal. 351). Kedudukan sebagian orang yang berada pada pihak negara-negara kafir dalam menghadapi kaum Muslimin serta membantu mereka dalam melawan kaum Muslim menjadikan pelakunya sebagai bagian dari kaum kafir itu sendiri. Hal ini bentuk kekufuran yang bertentangan dengan millah Islam (Al-Mufashol fi Ahkam al-Hijrah, Ali Ibn Nayif asy-Syuhud, Juz 5, hal. 145).

Keenam, menyerukan paham-paham yang bertentangan dengan Islam. Misalnya, menyerukan sekulerisme, pluralisme, liberalisme, demokrasi, HAM ala Barat, kesukuan, wathoniyah (nasionalisme, kebangsaan), dll. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak termasuk golonganku oang yang mengarah pada ashobiyah (golongan) dan tidak termasuk golonganku orang yang berperang karena ashobiyah dan tidak termasuk golonganku orang yang mati karena ashobiyah" (HR. Dawud).

Masih banyak tanda-tanda yang dapat menjerumuskan seseorang kepada kekufuran. Hal terpenting adalah siapapun umat Muhammad SAW berkewajiban menghindari dan membuang jauh-jauh tanda-tanda tersebut. Semoga kita terselamatkan dari hal berbahaya tersebut.[] sumber mediaumat.com

Wassalamualaykum wr wb

Pengikut