Gemah ripah loh jenawi toto tentrem kertoraharjo. Kalimat ini selalu mengiang di telinga rakyat Indonesia. Jika melihat sumberdaya alam Indonesia yang melimpah maka tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Bahkan merupakan fakta yang harus disyukuri sebagai rahmat dan karunia sang Khalik.
Dengan sumberdaya alam yang besar, negara-negara kapitalis berupaya memperebutkan pengaruhnya di Indonesia. Bahkan untuk komoditi minyak sawit (crude palm oil/CPO), Indonesia kini menduduki peringkat wahid, menyalip Malaysia dengan produksi hampir 18 juta ton. CPO menjadi salah satu pendulang devisa negara non-migas terbesar bagi Indonesia. Sebab, volume dan nilai ekspornya tiap tahun terus meningkat.
Kekayaan alam lainnya yang terpendam di bumi Indonesia juga sangat besar. Sebut saja minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia termasuk pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia. Indonesia memiliki 60 ladang minyak, 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan 2,26 triliun TCF.
Salah satu ladang minyak Indonesia yang sangat potensial adalah Blok Cepu. Secara bisnis potensi minyak Blok Cepu sangat menggiurkan. Setiap harinya, ladang minyak Blok Cepu ini bisa menghasilkan sekitar 200.000 barel perhari. Jika diasumsikan harga minyak 60 dolar AS/barel maka dalam sebulan mampu menghasilkan dana Rp 3,6 triliun atau Rp 43, 2 triliun setahun.
Indonesia juga memiliki wilayah alam yang mendukung dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia mempunyai keberagaman, berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda hidup dalam satu negara. Karena itu, kemudian muncul semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
Kaya Tapi Miskin
Dengan seluruh potensi yang ada itu, Indonesia adalah negara yang kaya. Sayang, meski kaya akan sumberdaya alam, ternyata bangsa Indonesia menghadapi masalah besar, yakni kemiskinan. Data Badan Pusat Statistika (BPS) jumlahnya mencapai 18,5 juta rumah tangga miskin (RTM). Kalkulasinya, jika setiap RTM ada empat orang jiwa (bapak, ibu dan dua orang anak) maka total penduduk miskin Indonesia mencapai 74 juta jiwa. Artinya, hampir 30% penduduk Indonesia berada dalam garis kemiskinan. Padahal perhitungan angka garis kemiskinan itu berdasarkan pendapatan sekitar Rp 160 ribu/bulan. Bagaimana jika angka garis kemiskinan itu dinaikkan menjadi Rp 300 ribu/bulan? Sudah pasti jumlah RTM bakal makin melonjak.
Untuk mengelola sumberdaya alam, Pemerintah membuka begitu lebar pintu masuk investor asing. Ambil contoh di sektor pertambangan. Perusahaan pertambangan terkaya versi Forbes 500, sebagian besar beroperasi di Indonesia. Perusahaan itu yakni Exxon Mobil, pendapatan 390.3 billion dolar AS/tahun; Shell (355.8 billion dolar AS/tahun); British Petroleum (292 billion dolar AS/tahun); Total S.A. (217.6 billion dolar AS/tahun); Chevron Corp. (214.1 billion dolar AS/tahun); Saudi Aramco/BUMN Saudi (197.9 billion dolar AS/ tahun) dan ConocoPhillips (187.4 billion dolar AS/tahun).
Perusahaan pertambangan itu diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp 17.000 triliun/tahun. Jumlah itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai Rp 1.037 triliun.
Dari data tersebut sangat aneh. Pemerintah kerap mengatakan, dari migas Indonesia akan mendapat bagian 85% dan asing 15%. Padahal ternyata pendapatan negara dari migas tidak lebih dari Rp 350 triliun/tahun, sedangkan perusahaan migas asing yang “cuma” dapat 15% bisa mendapat Rp 17.000 triliun!
Itu belum termasuk perusahaan pertambangan lainnya. Misalnya Freeport, Newmont dan BHP yang menguasai emas, perak, tembaga, nikel dan bahan tambang lainnya. Artinya, yang diuntungkan dalam pengelolaan sumberdaya alam Indonesia adalah para perusahaan asing tersebut.
Lebih mirisnya lagi, masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan justru tetap miskin. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi pada isu-isu pertambangan, mencatat masyarakat yang tinggal di sekitar penambangan terutama di wilayah ring satu, yakni wilayah yang paling berdekatan dengan lokasi penambangan, kehidupannya mengenaskan.
Tak hanya tersisih dari hak untuk turut mengelola. Apalagi menikmati kekayaan alam, masyarakat di sekitar lokasi tambang juga menjadi korban yang paling merasakan dampak buruk praktik penambangan. Kerusakan lingkungan selalu menyertai kegiatan penambangan. Jatam mencatat tak ada satu pun perusahaan tambang yang telah hengkang dari Indonesia yang tidak menyisakan dampak buruk berupa kehancuran lingkungan.
Sebagai ilustrasi, jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur naik 2,8% pada tahun 2001 dibandingkan tahun 1999 (data BKKBN). Dari total 2,7 juta populasi Kalimantan Timur 12% adalah penduduk miskin dan merata di 13 kota dan kabupaten. Juara miskinnya adalah Kutai Kertanegara, yakni 17% dari total populasinya. Padahal kabupaten tersebut merupakan daerah pertambangan terbesar.
Masyarakat di sekitar tambang akhirnya hanya menjadi penonton, seperti tamu di rumah sendiri. Mereka tidak bisa menikmati kekayaan alam yang diwariskan leluhur. Sebaliknya, pemodal asing justru yang menjadi tuan. Berbekal perjanjian kontrak karya dengan Pemerintah, mereka leluasa mengeruk sumberdaya mineral dan gas sampai tak tersisa. Yang tersisa adalah kemiskinan.
Data Departemen Energi dan Sumberdaya Energi (ESDM), perusahaan asing yang mendominasi sumur minyak Indonesia saat ini mencapai 71 perusahaan, sedangkan yang sudah mendapat izin total 105 perusahaan. Di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) terdapat 9 perusahaan, Riau ada 21 perusahaan, Sumatera Selatan sebanyak 22 perusahaan, Babelan Bekasi-Jawa Barat dan Jawa Timur sebanyak 13 perusahaan, Kalimantan Timur 19 perusahan migas.
Inilah sebuah ironi. Negeri yang katanya ‘Subur Makmur’ justru ‘Miskin’. Semua terjadi karena bangsa ini ternyata telah salah urus. Sistem kapitalis yang diterapkan Pemerintah Indonesia telah membawa negeri ini luluh-lantak ketika diterpa gelombang tsunami krisis ekonomi pada 1997/1998.
Utang dan Pajak: ‘Pendapatan’ Utama
Hingga kini kebijakan Pemerintah tidak berubah. Semua kebijakan tetap kental dengan liberalisme. Satu contoh adalah Peraturan Presiden No.111/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.77/2007 tentang Daftar bidang Usaha yang tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Permodalan.
Dalam Perpres tersebut, beberapa bidang usaha yang terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, kesehatan dan tanaman pangan, sahamnya boleh dimiliki asing hingga di atas 65%. Artinya, investor asing bisa mengelola sumberdaya alam yang harusnya diusahakan Pemerintah.
Selain mengundang investor asing, untuk ‘mengurusi rakyat’ Pemerintah terpaksa harus berutang. Parahnya lagi, penganut paham Ekonomi Neoliberalisme terus mendorong kebijakan tersebut. Mereka terus mendengung-kan bahwa tanpa utang tidak mungkin ada pembangunan.
Data Departemen Keuangan, utang Pemerintah Indonesia kini mencapai Rp 972,253 triliun untuk obligasi dan 65,73 miliar dolar AS utang luar negeri. Jika menggunakan kurs Rp 11.000/dolar AS maka utang luar negeri Pemerintah mencapai Rp 772,920 triliun.
Sementara itu, nilai pembayaran utang yang dianggarkan dalam APBN Perubahan 2009 mencapai Rp 172,2 triliun. Pembayaran ini mencakup Rp 61,6 triliun untuk cicilan pokok dan Rp 110,6 triliun untuk cicilan bunga. Dengan target penerimaan negara Rp 847,7 triliun, pembayaran utang negara pada tahun ini memakan 20,31% pendapatan APBN, sedangkan cicilan bunga saja mencapai 12%.
Diprediksi dalam enam tahun ke depan (2009-20014), nilai utang luar negeri Pemerintah yang jatuh tempo diperkirakan mencapai 31,545 miliar dolar AS. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, utang luar negeri Pemerintah cenderung mengalami peningkatan.
Pada 2006, utang luar negeri mencapai Rp 562 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 586 triliun pada 2007. Tahun 2008 menjadi Rp 717 triliun dan tahun 2009 membengkak menjadi Rp 746 triliun. Sementara itu, utang obligasi angkanya terus menanjak. Pada tahun 2001 nilainya sudah mencapai Rp 661 triliun, tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp 920 triliun.
Sebagai negara yang mempunyai sumberdaya alam sangat besar, ternyata bangsa ini kini hidup dari utang. Bahkan Panitia Anggaran DPR bersama Pemerintah telah menyepakati pembayaran bunga utang Indonesia senilai Rp 109,59 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2009. Keberadaan utang yang sangat tinggi membuat bangsa Indonesia kini didikte oleh pemberi pinjaman; di antaranya harus menyerahkan kekayaan alam dan menjual BUMN.
Selain dari utang, bangsa Indonesia kini juga hidup dengan mengandalkan pasokan dari pajak. Dalam APBN 2010, Pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 949,7 triliun, naik sebanyak Rp 38,2 triliun dari yang diusulkan dalam RAPBN 2010 sebesar Rp 911,5 triliun. Perubahan tersebut lantaran berubahnya asumsi pertumbuhan ekonomi dari 5% dalam RAPBN 2010 menjadi 5,5%.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, jumlah pendapatan itu berasal dari penerimaan perpajakan sebanyak Rp 742,7 triliun, naik Rp 13,6 triliun dari RAPBN 2010 sebesar Rp 729,2 triliun. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebanyak Rp 205,4 triliun. Penerimaan dari hibah sebanyak Rp 1.506,8 miliar. Artinya, hampir 70% sumber APBN berasal dari pajak.
Pajak-pajak tersebut berasal dari pajak penghasilan (PPh Non Migas dan PPh Migas), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak lainnya dan cukai. Selain itu juga pajak yang berasal dari perdagangan internasional, yaitu bea masuk dan bea keluar (Tabel 1).
Menindas Rakyat
Konsekuensi dari target APBN yang mengandalkan pajak membuat segala aktivitas akan terkena pajak. Dampaknya adalah ekonomi biaya tinggi. Kalangan pengusaha yang produknya terkena pajak, pasti akan membebankan tambahan biaya tersebut ke dalam harga produk yang dijualnya. Pada akhirnya, pajak kini menjadi komponen harga dalam sebuah produk dan jasa. Akibatnya, semua beban pajak akan ditanggung rakyat.
Sayangnya, penerimaan pajak yang sangat besar itu tidak jelas arahnya. Padahal Pemerintah harusnya bisa memanfaatkan penerimaan pajak yang sangat besar itu untuk menggerakkan perekonomian rakyat. Yang terjadi justru penerimaan pajak yang sangat besar itu untuk memberikan stimulus bagi pengusaha besar. Kasus yang paling hangat adalah bagaimana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan bantuan likuiditas sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Pengucuran dana itu setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah dan Bank Indonesia.
Kasus-kasus seperti ini kerap terulang. Bahkan Pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman. Masih ingat ketika era pemerintahan Soeharto yang juga mengucurkan dana triliunan rupiah melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Ketika bantuan itu cair, ternyata banyak pengusaha yang akhirnya mengemplang dana tersebut.
Rasa ketidakadilan makin nyata. Di satu sisi Pemerintah terus menggenjot penerimaan pajak, tetapi penggunaan penerimaan negara itu justru untuk menstimulus pengusaha besar. Di sisi lain Pemerintah justru memangkas anggaran subsidi untuk rakyat. Dalam RAPBN 2010, Pemerintah hanya mengalokasi anggaran subsidi pada 2010 sebesar Rp 144,4 triliun. Jumlah itu lebih rendah dari subsidi APBN-P 2009 sebanyak Rp 157,727 triliun. Penurunan subsidi itu untuk pangan dari Rp 12,987 triliun pada APBNP 2009 menjadi Rp 11,84 triliun, dan subsidi pupuk turun dari Rp 18,43 triliun (APBNP 2009) menjadi Rp11,29 triliun.
Beban hidup rakyat bakal makin bertambah. Sebab, dalam APBN 2010 Pemerintah juga memotong subsidi untuk listrik. Dalam usulan RAPBN 2010, subsidi listrik sebesar Rp 40,4 triliun, tetapi Pemerintah hanya menetapkan sebanyak Rp 37,8 triliun atau turun Rp 2,6 triliun.
Kompensasi dari turunnya subsidi listrik, Pemerintah berancang-ancang menaikkan tarif dasar listrik (TDL). PLN beralasan, kenaikkan terjadi karena tarif yang berlaku sekarang ini merupakan TDL 2003 yang besarnya Rp 630 per kWh. Sementara itu, biaya pokok produksi (BPP) listrik selama ini Rp 1.317 per kWh.
Selain TDL yang juga sudah bersiap-siap naik, Pemerintah melalui BUMN Pertamina justru sudah mengatrol harga gas LPG (elpiji) 12 kg. Lagi-lagi alasan Pemerintah, karena sepanjang 2008 lalu Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 5,3 triliun dari penjualan, LPG baik LPG PSO maupun non-PSO.
Dengan hanya mengandalkan penerimaan negara dari pajak sudah pasti semua beban akan ditimpakan kepada rakyat. Pada akhirnya, rakyat makin tertindas. Belum lagi beban utang yang sangat besar justru makin menyeret bangsa Indonesia dalam jurang kemiskinan. [Julianto]
Sabtu, 14 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar