Masukkan Code ini K1-43E2AC-4
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

kumpulblogger

Sabtu, 14 November 2009

Migas & Tambang untuk Rakyat Indonesia ?.

Dari: rifky pradana
Judul:Migas & Tambang untuk Rakyat Indonesia ?.


Undang-Undang
(UU) No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dinilai oleh banyak
kalangan sebagai Undang-Undang dengan semangat dan jiwa yang merupakan reinkarnasi produk UU kolonial yaitu Indische
Mijn Wet 1899. Dimana dalam produk hukum kolonial itu
jelas-jelas mengutamakan pihak asing (penanam modal).

Padahal
pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, produk peninggalan kolonial itu
telah dihapuskan dan diganti dengan UU Nomor 44 Prp. tahun 1960 dan UU Nomor 15
tahun 1962. Selanjutnya pada pemerintahan Presiden Soeharto dirubah lagi
menjadi UU Nomor 8 tahun 1971. Seharusnya perubahan-perubahan itu didedikasikan
sepenuhnya semata hanya untuk lebih menjamin kepentingan nasional.

Selain
itu, materi UU Migas ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33.
Ayat (2) dan (3). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kemudian
didalam UU Migas itu, pada subtansi yang terkandung didalam pasal 12 ayat (3)
akan membawa akibat penguasaan industri migas nasional oleh Perusahaan
Asing. Disamping itu juga akan mengurangi wewenang presiden, dan sebaliknya,
menumpukan kekuasaan atas sumber daya migas di tangan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM).

UU
No. 22 Tahun 2001 merupakan pengganti dari UU No. 8/1971. Sedangkan pada UU No.
8/1971 mengatur pengelolaan sektor hulu dan hilir migas yang tidak dipisahkan
mengingat migas sebagai kebutuhan yang sangat vital dan menguasai hajat hidup
orang banyak. Di samping itu demi menjaga stabilitas harga dan pemenuhan
pasokan sumber energi bagi masyarakat.

Berkait
dengan keprihatinan terhadap UU No. 22 Tahun 2001 yang dinilai terlalu
kebablasan semangat meliberalisasikan sektor hulu sampai hilir di bidang Minyak
dan Gas Bumi ini, beberapa kalangan berinisitiatif mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Maka
sejumlah lembaga seperti Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI),
Yayasan 324, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), DR. Ir. Pandji R Hadinoto (Wakil
Rektor Universitas Kejuangan 45 Jakarta), dan Serikat Pekerja Pertamina,
mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
Sidang
perdana pengujian UU No. 22 Tahun 2001 itu dimulai pada tanggal 11 November
2003. Hakim panel yang menangani perkara ini adalah HM Laica Marzuki, HAS
Natabaya dan Harjono.

Setelah
melalui beberapa kali persidangan, pada tanggal 21 Desember 2004, Mahkamah
Konstitusi akhirnya memberikan keputusan akhirnya dengan putusan tidak
mengabulkan permohonan para pemohon untuk membatalkan seluruh materi UU
No.22/2001, namun mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang No.
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Putusan
MK yang bernomer 002/PUU-I/2003 dan bertanggal tanggal 21 Desember 2004
mengatur beberapa Pasal didalam UU No.22/2001 yang dikoreksi oleh MK, antara
lain adalah :

Pasal
12 ayat (3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau bentuk Usaha Tetap
yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan
eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal
22 ayat (1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib
menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi
Minyak Bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pasal
28 ayat (2) Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Pasal
28 ayat (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan
masyarakat tertentu.

Dalam
amar putusannya, MK menyatakan bahwa pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU
No.22/2001 bertentangan dengan UUD 1945.

MK
melakukan pencabutan atas pasal 28 ayat (2) yang mengatur kenaikan harga
BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan wajar. Menurut keputusan MK,
campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi
kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak.

MK
mendalilkan bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan
kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar.

Pasal
28 ayat (2) dan ayat (3) di mata MK lebih mengutamakan mekanisme persaingan,
baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat
tertentu. Aturan ini dipandang MK tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur
dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Hal
yang sama terjadi pada pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata 'diberi wewenang', dan pasal 22 ayat (1)
sepanjang mengenai kata-kata 'paling
banyak'.

Ketiga
aturan hukum tersebut dinyatakan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33..

Hal
lainnya, putusan judicial review Pasal
UU No.22/2001 ini harus dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja
sejak putusan diucapkan.

Putusan
Mahkamah Konstitusi itu juga telah berumur hampir 5 tahun, terhitung sejak
putusan itu ditetapkan olah Mahkamah Konstitusi. Bagaimana wajah pengelolaan
Migas kekayaan alam negara kita ini ?. Apakah sudah berhasil dihindarkan
situasi dimana kebijakan pemerintah (lembaga
eksekutif) lebih mengutamakan pihak penanam modal dari Negara Asing ?.

Berkait
dengan itu, apakah pemerintah (lembaga eksekutif) juga telah melakukan
harmonisasi yang sesuai dengan putusan MK itu atas aturan hukum lainnya (PP,
Perpres, dsb) yang hirarkinya dibawah UU ini ?.

Apakah
dengan demikian, berdasarkan konsideran hasil putusan judicial review itu maka harga eceran BBM tidak boleh lagi
dinaikkan dengan acuan mengikuti harga
pasar ?.

Semoga,
siapa pun yang menjadi penguasa di pemerintahan negara ini, tetap akan teguh
memegang prinsip bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
tetap dalam penguasaan sepenuhnya negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.

Dimana
hak penguasaaan negara atas sumberdayanya menjadi tidak dikebiri. Juga dimana negara
tidak lagi masih mempunyai hak penuh atas Beleid (perumusan
kebijakan), Bestuursdaad (pengurusan) , Regelendaad (pengaturan) , Beheersdaad( pengelolaan) , dan Toezichthoudendaad (pengawasan) .

Sehingga
kebijakan pemerintah atas kekayaan milik negara kita sendiri ini, jika dianggap
memihak kepentingan masyarakat dan dianggap membahayakan kelangsungan Hak
Penguasaan dan kelancaran Operasi Bisnis para
Investor Asing itu, pemerintah tidak harus selalu diseret ke pengadilan arbritase internasional.
Namun cukup dengan hukum yang berlaku di negara ini yang mengutamakan
kepentingan nasional.

Lalu
hasil akhirnya, kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik lagi, dimana perbandingan antara pendapatan rakyat dengan biaya
kehidupannya menjadi lebih seimbang lagi.

Syukur-syukur
pendapatannya menjadi surplus, sehingga rakyat jelatanya juga bisa ikutan
berliburnya dengan melancong ke Bermuda atau Hawai di Amerika Serikat nun jauh disana.

Kapan
itu akan terlaksana ?.

Wallahualambishshaw ab.

Catatan
Kaki :
Artikel
terkait : disini dan disini serta disini juga disini dan disini serta disini..

Artikel ini dapat dibaca di :
UU Migas,
Sudahkah Rakyat ter-Sejahtera- kan ?
http://politikana. com/baca/ 2009/07/20/ uu-migas- sudahkah- rakyat-ter- sejahtera- kan.html
http://public. kompasiana. com/2009/ 07/20/uu- migas-sudahkah- rakyat-ter- sejahtera- kan/

Tidak ada komentar:

Pengikut