Masukkan Code ini K1-43E2AC-4
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

kumpulblogger

Jumat, 29 Januari 2010

jawaban untuk kaum liberal

Menjawab Islam Liberal 4 : Islam bukan sebuah sistem Politik

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Armansyah 22 Nov 2006 - 6:54 am

Assalamu'alaykum Wr. Wb.,
Ini adalah yang ke-4 kalinya saya menulis jawaban terhadap artikel-artikel yang diterbitkan oleh komunitas Jaringan Islam Liberal (JIL) melalui website mereka di http://islamlib.com ; kali ini saya akan memberikan tanggapan atas tulisan Sdr. Tahsinul Khuluq yang berjudul : Islam bukan sebuah sistem Politik .

Adapun tulisan pertama saya menanggapi artikelnya Sdr. Dawam Raharjo melalui artikelnya : Negara Tak Perlu Mengatur Kepercayaan; tulisan kedua saya adalah menanggapi artikelnya Sdr. Abd Moqsith Ghazali melalui artikelnya : Ismail atau Ishak? ; dan tulisan yang ke-3 menanggapi komentar dari Gus Dur : Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!.

Tulisan ini saya kirim keforum milis myQuran@yahoogroups.com, myQuran@googlegroups.com dan eramuslim@yahoogroups.com dimana saya aktif pada ketiga milis tersebut dan sebagaimana sebelumnya tidak lupa juga saya CC-kan tulisan ini kealamat email Sdr. Ulil Abshar Abdhalla dan juga redaksi situs Islam Liberal yang saya temukan dialamat http://islamlib.com/id/kontak.php dengan harapan tulisan ini memang sampai ketujuan sebenarnya. [alamatnya : ulil99@yahoo.com ; redaksi@islamlib.com ]

Untuk menghemat pembicaraan ... saya akan langsung memulai tanggapan ...

Sdr. Tahsinul Khuluq mengutip pernyataan rekannya sesama Islam Liberal, Sdr. Abd Moqsith Ghazali :
"Tindakan politik Nabi Muhammad semasa hidupnya adalah merupakan hasil ijtihad Nabi sendiri, bukan merupakan bagian risalah agama. Jadi, tindakan politik Nabi tersebut tidak wajib diikuti. Dan juga pemikiran yang diusung oleh beberapa orang seperti Hasan Al Bana dan Sayyid Quthb tentang pentingnya sistem Islam dalam negara (negara Islam), adalah tidak sesuai dengan kemaslahatan dan beresiko sangat tinggi, khususnya apabila diterapkan di Indonesia."

Tanggapan saya :
Pernyataan ini jelas tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya., Bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, terutama menyangkut kemaslahatan kehidupan masyarakat dijamannya tidak akan pernah lepas dari wahyu yang selalu menyertai keberadaannya. Hal ini tidak lain karena beliau merupakan sosok yang menjadi panutan atau Uswatun Hasanah bagi umatnya sepanjang masa dan lintas generasi, sebagaimana firman Allah sendiri dalam al-Qur'an :
Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi orang yang beriman kepada Allah dan [percaya kepada] hari kemudian serta banyak menyebut Allah. -Qs. 33 al-Ahzaab :21

Perhatikan teks yang saya tebalkan dan saya garis bawahi ... Uswatun Hasanah dari sosok Muhammad itu tidak hanya berkenaan kepada masyarakat dijamannya saja, namun menembus batas ruang dan waktu, termasuk dijaman kita sekarang ini.

Itulah akibatnya jika agama hanya dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya pribadi dan selalu mengkonotasikannya dengan ritual peribadahan seperti sholat, puasa, haji dan lain sebagainya. Padahal, seperti yang juga sudah saya singgung dalam jawaban saya atas pendapatnya Dawam Rahardjo maupun Gus Dur (lihat lagi artikel saya : Menjawab Islam Liberal 1 dan 3) bahwa kita di Indonesia ini telah salah dalam memahami arti dari istilah ad-Dien yang di-Indonesiakan sebagai agama.

Istilah Dien sebenarnya sangatlah kompleks artinya daripada pengertian a-gama yang berarti sesuatu yang tidak kacau. ad-Dien merupakan jalan hidup yang berisikan petunjuk, bimbingan dan tuntunan bagi manusia didalam berproses didunia ini selaku Khalifah Tuhan. Karena itu Dien tidak bisa dilepaskan dari satu titikpun celah kehidupan manusia, baik dalam keadaan beribadah vertikal maupun melakukan tugas fungsionaritasnya sehari-hari termasuk dalam bernegara.

Seorang pekerja kantoran dia tidak bisa melepaskan Diennya didalam kantor, seorang artis pun tidak bisa menanggalkan Diennya saat sedang menjalankan profesi keartisannya, seorang kepala negara pun tidak bisa melepaskan Diennya dalam mengatur dan mengemban amanah rakyatnya ... demikian seterusnya. Intinya apapun status sosial kita, pekerjaan kita, satu hal yang pasti : kita tidak pernah bisa terlepas dari Dien yang sudah diturunkan oleh Allah.

Jadi, jika anda merasa sebagai orang yang beriman kepada Allah dan anda yakin hari akhir itu ada maka seharusnya anda menjadikan sosok Muhammad itu sebagai contoh teladan paripurna dalam hidup dan berkehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi jika anda tetap bersikukuh dengan pendapat anda itu ... maka maaf-maaf saja, saya bisa menyebut anda dengan 3 gelar sekaligus : Kafir, Zalim dan Fasik !

Apa alasan saya menyebut anda demikian ?

Silahkan buka al-Qur'an anda dan bacalah ayat ini :
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. -Qs. al-Ma'idah 5:44

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. -Qs. al-Ma'idah 5:45

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. -Qs. al-Ma'idah 5:47

Jadi, bila ada orang Islam yang tidak berhukum dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah maka diapun hakekatnya kafir, zalim dan fasik !

.... anda mungkin bisa saja mengelak bahwa yang anda ingkari bukan wahyu tetapi ijtihad politik Nabi seperti yang anda kemukakan ...... tetapi dengan pemaparan Qs. 33 al-Ahzaab ayat 21 tadi maka pendapat anda itu sudah bisa gugur dengan sendirinya ... tidakkah anda juga pernah membaca ayat berikut ini ?

Perhatikanlah bintang ketika dia menghilang, tidaklah kawanmu (yaitu Muhammad) orang yang sesat dan bodoh, tidak juga perkataannya itu berasal dari hawa nafsunya pribadi, apa yang diucapkannya adalah wahyu yang disampaikan dan yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (Jibril) yang mempunyai akal yang cerdas. Qs. 53 an-Najm : 1 s/d 5
Ingatlah : bahwa apa yang diucapkan dan dihasilkan oleh pemikiran seorang Muhammad semasa hidupnya tidaklah pernah terlepas dari wahyu yang diturunkan oleh Allah.
The point is : Saat dia sebagai seorang dai maka dia adalah dai yang selalu berada dibawah bimbingan wahyu, saat dia sebagai seorang suami maka dia berprofesi sebagai suami yang berlandaskan wahyu, saat dia sebagai seorang pemimpin negara maka diapun menjalankan profesinya itu atas bimbingan wahyu yang ada pada beliau. Karena itulah Muhammad disebut dengan Uswatun Hasanah.

Sdr. Tahsinul Khuluq :
Pada uraian gagasannya selanjutnya, Cak Moqsith menerangkan bahwa Islam adalah bukan sebuah sistem. Islam lebih merupakan kerangka etik moral yang bukan merupakan sistem, karena sistem itu harus dibentuk oleh manusia bukan Islam. Islam tidak punya bentuk sistem ketatanegaraan, karena itu bentuk negara bisa dengan cara demokrasi, cara republik, kerajaan, dan sebagainya.

Tanggapan saya :
Islam jelas menolak pendapat anda diatas ... sebab Allah sudah berfirman dalam al-Qur'an :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu. - Qs. al-Baqarah 2:208

Ayat diatas merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad selaku nabi-Nya agar masuk kedalam agama Islam secara kaffah atau totalitas ... kaffah dalam berkepribadian, kaffah dalam berumah tangga, kaffah dalam bermasyarakat, kaffah dalam berpartai, kaffah dalam bernegara dan seterusnya.

Sehingga yang dikehendaki oleh Islam itu tidak lain agar kita ini benar-benar Islam dalam setiap titik dan denyut nadi kehidupan bukan sekedar Islam KTP, Islam abangan, Islam Liberal atau lain sebagainya yang berlawanan dengan defenisi dari totalitas itu sendiri.
Sekali lagi, jelas Islam merupakan sebuah sistem, dia adalah sistem yang mengatur tata cara manusia berkepribadian hingga bernegara.

Jangan pernah mencari istilah demokrasi, republik, monarki atau apapun istilah ketata negaraan modern ini didalam al-Qur'an dan Islam, karena memang sampai kepala anda beruban sekalipun tidak akan anda temukan nama-nama yang demikian ... kira-kira samalah jika anda berharap menemukan istilah komputer, Visual Basic, Pascal, Active Server Pages, Saturnus, Uranus dan sebagainya didalam kitab al-Qur'an yang 30 djuz itu atau dari ratusan kumpulan hadis Nabi dari berbagai tingkatan derajatnya.

Saya rasa hanya orang goblok yang melakukan pencarian seperti itu .... saya yakin anda maupun komunitas Islam Liberal lainnya itu bukan manusia-manusia bodoh seperti yang saya maksudkan ini.

Sdr. Tahsinul Khuluq :
Pun terlihat dalam sejarahnya, Khilafah Islamiyah gagal sejak "menit pertama" berdirinya. Bisa dilihat, dari khulafaur rasyidin, tiga dari keempatnya, meninggal dunia dengan cara dibunuh dalam kerangka khilafah Islamiyah. Hanya kecuali Abu Bakar yang meninggal karena sakit. Hal tersebut memperlihatkan bahwa khilafah Islamiyah tidak bisa memberikan jaminan keamanan bagi khalifahnya sendiri.

Tanggapan saya :
Sdr. Tahsinul Khuluq yang saya hormati ... dari kalimat anda diatas ini jelas saya melihat anda sudah mencoba mengaburkan validitas sistem khilafah Islamiah yang ada pada jaman Khulafaur Rasyidin maupun hal-hal yang melatar belakangi kejadian-kejadian yang ada seputar terbunuhnya ke-3 khalifah besar Islam tersebut.

Saya yakin anda akan setuju bahwa terbunuhnya Jhon F. Kennedy ataupun presiden Amerika lainnya tidak membuat kita bisa menyebut Amerika telah gagal dalam konteks penerapan sistem ketata negaraannya, sama misalnya dengan turunnya Soekarno, Soeharto sampai Gus Dur dari kursi kepresidenan mereka secara paksa tidaklah secara serta merta membuat kita bisa menyebut Indonesia sudah gagal dengan konsep Republiknya.

Kita tidak bisa mengacu pada hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dengan sistem ketatanegaraan dengan memberikan nilai minus atas sistem ketata negaraan itu sendiri. Disini yang gagal bukan sistemnya tetapi para pelaku yang menerapkan sistem itulah yang sebenarnya harus kita koreksi.

Bahwa keterbunuhan Umar bin Khatab ditangan Aba Luluah, seorang budak persia yang tinggal dikota Madinah merupakan sebuah konspirasi antara Hurmuzan, Jufainah dan Kaab al-Ahbaar. Dimana Humuzan adalah seorang mantan gubernur yang menyerah saat daerahnya berhasil diduduki oleh kaum Muslimin, Jufainah adalah seorang penduduk dari Anbar yaitu suatu daerah pemukiman kaum Majusi yang berada dibawah kekuasaan Persia yang juga dikalahkan oleh pasukan Islam, lalu Kaab al-Ahbaar sendiri seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam.

Bukti bahwa masyarakat Muhajirin dan Anshar serta komunitas lainnya yang ada dinegara Madinah dan sekitarnya diwaktu terbunuhnya Umar bin Khatab sama sekali tidak berkonspirasi dalam peristiwa pembunuhan tersebut ... (lihat buku : Keagungan Umar bin Khatab hal 358 s/d 364 karya Dr. Abbas Mahmud Aqqad terbitan Pustaka Mantiq).

Apa bedanya kasus diatas dengan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel ataupun perjuangan rakyat Iraq terhadap pendudukan Amerika sekarang ? semua itu khan wajar saja dan sudah merupakan resiko dari suatu tindakan yang diambil oleh sebuah pemerintahan, terlepas sistem ketatanegaraan seperti apa yang dia anut itu.

Lalu kasus terbunuhnya Usman bin Affan ... inipun pada dasarnya tidak jelas pelakunya ... jika berbicara tentang motif, ya bisa saja karena pemerintahan Usman bin Affan dianggap lemah terhadap bujuk rayu keluarga dan kroni-kroni Bani Umayyah sehingga praktek KKN merajalela diberbagai penjuru negeri.

Sekali lagi ... apa beda kasus Usman bin Affan ini dengan kasusnya mantan Presiden Soeharto ? ; nyaris tidak ada beda ... katakanlah sebagai bentuk khusnuzzon kita bahwa Khalifah Usman bin Affannya sendiri secara pribadi tidak mungkin melakukan praktek-praktek politik kotor tersebut dalam pemerintahan beliau ... namun ini khan tidak berlaku dengan kroni-kroninya seperti Muawiyah dan lain sebagainya itu ?

Kemudian kasus wafatnya Ali bin Abu Thalib ... harusnya anda melihat sejarah ini jauh kebelakang hingga kejaman Mekkah pra kelahiran Muhammad Saw, yaitu jamannya Qushayy bin Kilab yang memegang jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dikalangan komunitas Mekkah sampai pada masa perebutan kekuasaan antara Hasyim dan Umayyah.
Dimana konspirasi yang disusun oleh komunitas Khawarij untuk membunuh Imam Ali bin Abu Thalib melalui tangan Abdurrahman bin Muljam yang berawal dari ketidaksepakatan sejumlah orang atas siasat perdamaian perang yang disetujui oleh sang Khalifah Ali terhadap pemberontakan Muawiyah bin Abu Sofyan yang memang sarat dengan kelicikan.

Latar belakang pemberontakan Muawiyyah sendiri kepada pemerintahan syah Khalifah Ali bin Abu Thalib lebih pada dendam lama antara kedua keturunan pembesar Mekkah dimasa lalu yang selanjutnya bergerak terus dengan pembantaian massal dan diikuti dengan caci maki para keturunan Nabi yang notabene merupakan dinasti Hasyim oleh Dinasti Umayyah melalui tangannya Muawiyah, Yazid dan generasi berikutnya sampai akhirnya berhenti dimasa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.

Ini juga bukti bahwa terbunuhnya Ali bin Abu Thalib dan kedua khalifah sesudahnya (Hasan dan Husien) sama sekali bukan karena sistem khalifah Islamiah yang mereka terapkan.
Jadi pernyataan anda sebelumnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dan hanya memperlihatkan kebodohan berpikir saja ...

Sdr. Tahsinul Khuluq :
Orang seperti Kyai Achmad Siddiq, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholis Madjid, tidak pernah mempertimbangkan khilafah Islamiyah sebagai sistem alternatif ketika demokrasi itu bangkrut, dan sebagainya. Tawaran mereka jelas, Indonesia yang didirikan dengan jerih payah oleh seluruh umat beragama di Indonesia, baik Islam ataupun tidak adalah final, dengan Pancasilanya.

Tanggapan saya :
Sdr. Tahsinul Khuluq .... memangnya siapa sih Kyai Achmad Siddiq, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholis Madjid yang anda bangga-banggakan itu ? Anda bangga dengan sosok Gusdur yang rambut anak perempuannya sering dicat warna-warni itu ? bangga dengan orang yang semua tindakan dan ucapannya selalu menyudutkan umat Islam ? bangga dengan sosok yang sewaktu menjabat sebagai Presiden selalu berbicara plin-plan ? bangga dengan Gusdur yang melemparkan opini perubahan ucapan Assalamu'alaykum menjadi selamat pagi, membolehkan mengucapkan Assalamu'alaykum kepada orang kafir dan terakhir menyebutkan al-Qur'an sebagai kitab cabul ?

Lalu bangga pula dengan sosok Nurcholish Madjid yang berprinsip konyol : Islam yes partai Islam No ?

Maaf saja ... saya tidak pernah bangga dengan mereka ... saya menghormati semua orang-orang tersebut dalam kapasitasnya sebagai anak bangsa, tidak lebih dari itu, bahkan rasa hormat saya jauh lebih tinggi kepada Hidayat Nurwahid, Amien Rais atau Habib Rizieq pemimpin FPI yang lebih konsis menerapkan syariat Islam dalam kehidupan.

Sdr. Tahsinul Khuluq :
Indonesia tidak dirancang secara khusus untuk umat Islam sendiri, tapi juga umat agama lain.

Tanggapan saya :
Saya setuju, jangankan Indonesia, dunia inipun tidak hanya dirancang untuk umat Islam saja tetapi untuk semua makhluk, baik itu manusia yang beragama, manusia yang menolak beragama sampai binatang dan Jin dari semua lapisan dimensinya, entah itu terlihat secara kasatmata ataupun ghaib.

Tetapi ingat juga bahwa di Indonesia ini setiap pemeluk agama memiliki hak dan kewajiban dalam menjalankan syariat agamanya masing-masing ... jadi, umat Islam harusnya punya hak penuh untuk menerapkan syariat Islam bagi dirinya sendiri dan itu harus dilindungi oleh negara, hal yang samapun berlaku untuk agama-agama yang menganut sistem ketuhanan yang maha esa (karena jelas secara konstitusi NKRI adalah negara yang beragama -lihat sila 1 dari Pancasila dan ayat 1 dari UUD 1945 pasal 29).
Pancasila :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
UUD 1945 pasal 29 :

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hanya orang Atheis, Komunis dan agama penyembah berhala (agama-agama yang konsep ketuhanan yang maha esanya tidak sejiwa dengan arti dari kemaha esaan itu sendiri) yang tidak punya tempat di NKRI.

Sdr. Tahsinul Khuluq :
Dalam penjelasan selanjutnya Cak Moqsith mengatakan bahwa fundamentalisme radikal Islam dalam konteks sosiologis dan politis secara umum bercirikan atau setidaknya mempunyai agenda khusus-- yaitu mendirikan negara Islam. "Bahkan gerakan fundamentalisme radikal Islam di Indonesia sekarang ini telah "menyusup" kedalam dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah", demikian Cak Moqsith mengakhiri uraiannya.

Tanggapan saya :
Seperti yang pernah saya katakan saat menjawab artikelnya Dawam Rahardjo, hanya orang yang tidak mengerti agama saja yang tidak mencita-citakan tegaknya daulah Islamiah dibumi Indonesia ini. Apabila benar NU dan Muhammadiah telah "tersusupi" oleh agenda semacam itu maka menurut saya wajar-wajar saja karena memang itulah kebenaran yang sesungguhnya dan sekaligus ini menandakan bahwa orang-orang yang ada di kedua organisasi itu jauh lebih cerdas, lebih cendikiawan daripada orang-orang yang berada dalam komunitas Jaringan Islam Liberal.

Demikian.,
Wassalam,

Armansyah
http://armansyah.swaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Pengikut